2010-11-16

Hujan Bulan Nopember



Datang tiba-tiba ... deras mengguyur
Aliran air sawah menerjang deras ke halaman
Tidak ada jalan keluar
Terjebak dalam ruang berbatas beton U

Sederas apa pun
Tidak pernah hal ini terjadi
Selidik punya selidik
Ternyata saluran air tersumbat bongkahan
'Sampah' hasil pembangunan vila
Menutup jalan keseimbangan







2010-08-07

Kelompok Peneliti melihat "Indigenous Peoples"

Australia-Netherlands Research Collaboration (ANRC) melakukan workshop di Puri Saron, Seminyak pada tanggal 26-28 Juli 2009. "Indigenous Peoples and Natural Resource Management: Towards New Forms of Governance" merupakan tema yang diangkat dalam workshop selama tiga hari tersebut. Workshop ditujukan untuk melihat hak masyarakat adat atas sumberdaya alam di Filipina dan Indonesia, mengevaluasi implikasi hukum adat melalui lembaga internasional untuk model baru pemerintahan di tingkat lokal, melihat perangkat transparansi dan akuntabilitas masyarakat lokal, pemerintah, LSM, dan perusahaan yang ada di daerah tersebut, serta melihat relevansi antara teori akademis dan standar kebijakan untuk diimplementasikan pada persoalan hukum baru.

Hari pertama, 26 Juli presentasi dibagi dalam 3 bagian: isu teoritis (Gerard Persoon, Leontine Visser, Christoph Antons, dan Carol Warren), studi kasus di Filipina (Tessa Minter dan Myrna Cauilan-Cureg), serta studi kasus di Indonesia (Tri Wira Yuwati, Petrus Gunarso, dan Made Suarnatha-Wayan Dirgayusa). Kegiatan dilanjutkan dengan welcome dinner di Yayasan Wisnu. Hujan menyambut 30 peserta. Upacara kecil malam purnama yang rencananya dilakukan di taman Warung Beten Gatep, dipindah ke ruang pertemuan Wisnu. God bless you ... tis tis tis ... hanya kebaikan yang keluar dari mulut, pikiran, dan tindakan.



Selanjutnya ... menu spesial Beten Gatep siap disantap: nasi sela dan nasi barak, bulung meurap, gado-gado, be lindung suna cekuh, betutu siap, tahu gulung don sela, be nila panggang, juga jaja bulung dan jepang compote. Welcome dinner ditutup dengan Kebyar Duduk yang dibawakan Binar. Sebelumnya, Binar bersama Laras membawakan Oleg Tambulilingan, kisah tentang seekor kumbang yang datang menggoda sekuntum bunga cantik.



Selamat pagi ... hari kedua, 27 Juli. Presentasi pertama tentang kebijakan, praktek dan aturan (John McCarthy, Anne Casson, dan Ketut Deddy), dilanjutkan kasus di Filipina (Dante Aquino, Leilene Gallardo, Padma Perez) dan di Indonesia (Rili Djohani, Greg Acciaioli, Ketut Erawan, Nyoman Wardi, Ahmad Kusworo, dan Laurens Bakker).

Sebagai informasi, pertemuan lain juga sedang berlangsung di ruang sebelah: membahas metode penelitian khusus untuk para 'peneliti Asia' Murdoch University yang akan melihat peran modal sosial di masyarakat berdasarkan pengelolaan sumberdaya alam. Penelitian tersebut merupakan studi komparatif di 10 provinsi di Indonesia. Tujuan dari penelitian tersebut adalah mengetahui bagaimana masyarakat lokal membuat keputusan kolektif tentang pengelolaan sumberdaya alam terpenting di daerahnya, melihat bagaimana responden memahami keberlanjutan ekologis dan pembangunan ekonomi, dan mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat masyarakat. Pertemuan ini sudah dilakukan lebih awal, sejak 23 Juli di Puri Dalem Sanur.

Kembali ke ANRC workshop. Hari ketiga, 28 Juli sampai menjelang makan siang. Menghasilkan masukan untuk membuat rekomendasi kebijakan: mengidentifikasi dan kebijakan ditujukan untuk kelompok yang membutuhkan (masyarakat miskin dan terpinggirkan, 'mereka' yang rakus atas sumberdaya alam, kaum birokrat, dan masyarakat luas lainnya termasuk para peneliti). Selain itu, disarankan juga supaya rekomendasi yang dibuat tidak menggunakan isu sensitif.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan:
- Pengetahuan masyarakat adat/lokal
- Konsep tentang 'komunitas atau masyarakat'
- Etnisitas dan pengelolaan hutan
- Hak atas lahan masyarakat adat dan hak pemanfaatan sumberdaya
- Kerangka hukum
- Tanggung jawab sosial perusahaan
- Partisipasi
- Biaya untuk pelayanan lingkungan
- REDD dan REDD++
- Masyarakat adat dan konservasi

God bless us ... semua kebaikan datang dan untuk semua makhluk, termasuk 'indigenous people' yang bijaksana dalam mengelola sumberdayanya.

2010-07-12

Menuju Bali Shanti melalui Desa Wisata Ekologis


"Hasil penelitian memang sesuai dengan realitas yang ada di desa. Persoalan tersebut sudah ada sejak awal melakukan ekowisata karena menggunakan rumah penduduk seperti apa adanya. Hal penting yang harus dilakukaan sekarang adalah menetapkan standar yang bisa dikelola bersama." Demikian Pak Sita mengemukakan pendapatnya di depan sekitar 35 orang yang berkumpul di ruang pertemuan Wisnu. Hari itu Rabu, 7 Juli 2010, lewat dari jam 10 pagi.

Kegiatan ekowisata di empat desa melalui JED memang sudah berjalan selama 8 tahun, dan setiap tamu yang berkunjung selalu dimintakan kesediaannya mengisi lembar evaluasi. Berdasarkan catatan data evaluasi selama tahun 2008 diketahui bahwa catatan terbanyak dari para tamu adalah untuk akomodasi, terutama toilet. Perbaikan dan pengaturan atas fasilitas yang sudah ada perlu dilakukan untuk setidaknya bisa memenuhi kenyamanan standar minimal dari tamu yang berkunjung dan menginap di desa.

Catatan terbanyak lainnya adalah untuk kebersihan dan pengelolaan sampah. Sudah disadari bahwa pengelolaan sampah plastik dan anorganik lainnya perlu dilakukan dan sudah mulai diupayakan, namun tidak demikian dengan sampah organik. Catatan yang ada tidak bisa diterima begitu saja, melainkan perlu dianalisis berdasarkan latar belakang budaya. Misal dengan pernyataan jalur treking tidak bersih. Jika yang membuat tidak bersih adalah sampah plastik, memang harus dibersihkan. Namun, jika yang dimaksud adalah daun-daun kering yang berserakan di sepanjang jalur treking, hmmmm ... mungkin di situlah justru akan terjadi dialog informatif antara pemandu lokal dan tamu JED.

Satu hal yang pasti adalah standar manajemen ekowisata atau wisata ekologis desa memang perlu ditetapkan. Standar yang tidak hanya mengacu pada kode etik pariwisata dunia atau nasional, melainkan juga pada nilai budaya Bali. Hal ini bukan hanya ditujukan untuk 'kenyamanan' tamu, terlebih lagi sebagai alat membangun sistem pertahanan diri. Setiap masyarakat desa diwajibkan belajar tentang roh budaya Bali. Di samping ditujukan untuk berinteraksi dengan tamu dan bisa memberikan informasi sebenarnya, kegiatan ini akan menuntun setiap orang melakukan segala sesuatu dengan penuh pemahaman dan kesadaran.

Pada akhirnya, desa wisata ekologis bukanlah merupakan tujuan, melainkan sebagai model keutuhan ruang material dan spiritual Bali. Tujuan yang sesungguhnya adalah Bali Shanti, Bali yang damai. Bagaimana kemudian Bali mawa cara digunakan sebagai alat dan cara mempertahankan diri dari berbagai jenis 'banjir' yang mulai melanda Bali: banjir barang luar, banjir teknologi dan informasi, banjir investor ... jangan sampai "jagung diancak-ancak gelahe, siap len ane ngamah".

2010-07-07

Merencanakan Wisata Ekologis Bali Bersama Pak Gede Ardika

Senin, 5 Juli 2010
Kijang biru sudah tiba di Wisnu. Pak Gede Ardika keluar dari kursi kemudi, setelah 3 jam mengendarai sendiri dari Sudaji, Buleleng. Sebagai seorang Bapak, berbagai jenis rasa bakpia dibawa langsung dari Baturiti. So sweet ...

Diskusi tentang Bali pun dimulai. Ada Aji Arwata dan Turah Jayak, Pak Suar juga Denik dan Atiek, serta Bli Wayan yang datang jauh-jauh dari Bandung untuk ikut berdiskusi dan Mbak Dwi. Bali mempunyai sistem nilai budaya yang sangat dekat dengan alam dan kehidupan sosial, namun saat ini sebagian besar orang Bali tidak mengerti dan paham atas nilai dibalik 'ritual' yang dilakukan. Misalnya mandi telanjang di sungai. Ada nilai kejujuran dan penghormatan atas kepemilikan dibalik 'keterbukaan' dan gunjingan pinggir sungai.

Permasalahan kemudian muncul akibat ketidakpahaman. Terlebih lagi karena sebagian besar aturan di Bali tidak tertulis, melainkan berupa kesepakatan sebagai sebuah budaya yang terus dilakukan secara turun-temurun. Bahkan yang sudah tertulis pun tidak bisa dipahami dengan benar. Seperti yang terjadi pada koperasi dan LPD. Koperasi yang berbasis ekonomi pada dasarnya ditujukan untuk mensejahterakan keluarga anggota, bukan merupakan 'ilmu kerakusan'. Demikian halnya dengan LPD yang sebetulnya bertugas untuk mengamankan dan memperkuat budaya melalui ecos dan nomos, namun saat ini uang yang diperkuat. Atas ketidakpahaman, pencuri ide pun semakin banyak bermunculan. Berperan sebagai sinterklas, memberikan bantuan ke desa, namun berdampak pada rusaknya sistem sosial budaya masyarakat.

Maka, wisata ekologis desa dipilih sebagai alat untuk 'mengamankan' Bali. Orang-orang yang tergabung dalam asosiasi Bali DWE (Desa Wisata Ekologis) harus mampu menggali kearifan lokal dan melakukan interpretasi atasnya. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah sowan dan menjemput para orang tua bijaksana untuk ikut terlibat. Ilmu 'nyantrik' harus mulai dilakukan. Atau secara singkat dikatakan sebagai kegiatan 'integrated knowledge management'.

Sukma Bali DWE adalah memberikan nyawa atau jiwa pada ruang Bali. Seperti halnya sawen yang disimbolkan dengan pandan berduri dan pamor yang diikat dengan benang tridatu dengan sesari pis bolong. Duri pandan yang tajam merupakan simbol atas kebutuhan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat, juga bersih dan adil yang disimbolkan oleh pamor. Keputusan tersebut harus mampu memberikan hidup untuk banyak pihak yang disimbolkan dengan benang tridatu dan pis bolong. Tidak semua hasil bumi untuk dijual, namun sisihkan sebagian untuk menyamabraya. Berikan juga 'ongkos angkut' kepada orang yang ikut bekerja namun tidak mempunyai pohon, supaya orang itu juga ikut menjaga pohon sebagai sumber kehidupan.

Sistem nilai budaya ini yang harus diperkenalkan kepada mereka yang berkunjung. Sehingga orang yang datang tidak sekedar melihat atau meninggalkan jejak yang merusak. Nilai atas hidup akan mereka dapat ketika dan setelah berkunjung ke desa wisata ekologis. Namun, hal ini tidak bisa terjadi jika mereka yang hidup dan tinggal di dalam desa wisata ekologis tidak paham atas sistem nilai budaya yang mereka miliki. Maka, konsep atas Bali DWE ditujukan untuk memberikan nyawa atas ruang yang dihuni orang Bali dan dikunjungi orang luar.

Salah satu yang mudah untuk dilakukan adalah: menghargai dan makan makanan lokal yang sehat dan menumbuhkan jiwa. Mari kita melakukan segala hal dengan penuh kesadaran dan bisa memberikan nyawa ... hanya orang yang berhati penuh cinta yang bisa melakukannya. Sama seperti yang dikatakan para tim ahli yang terlibat dalam penyusunan rencana kelola ruang desa: mari membuat agenda bersama Bali berdasarkan desa pekraman.

2010-06-28

Berbagi Kisah melalui Forum Belajar Bersama

Sekitar 50 orang berkumpul di ruang pertemuan Batukaru, Hotel Inna Sindhu Beach, sejak tanggal 23 sampai 25 Juni 2010. Pengembangan-pengembangan Strategi Gerakan Rakyat Paska Pemilu 2009 ditetapkan menjadi tema pertemuan FBB jaringan Praxis. Sangat terkesan berbau politik, tapi hidup ini memang 'berpolitik'.

Kegiatan utama dari pertemuan adalah mendiskusikan pola-pola penindasan, perlawanan, dan konsolidasi yang sudah dilakukan di tiap region: Sumatra-Kalimantan, Jawa, Bali-Nusa Tenggara-Maluku, Sulawesi, Papua, dan sektoral. Jika disimpulkan, setiap region mempunyai permasalah yang sama, yaitu penindasan atas sumberdaya lokal. Berbagai upaya untuk merebut sumberdaya sudah dilakukan, melalui sistem elektoral dan non elektoral, namun belum semuanya sesuai dengan yang diharapkan.

Salah satu rangkuman dari pertemuan yang dihasilkan adalah usulan untuk FBB sebagai Forum Belajar Bersama, yaitu:
  • FBB berperan sebagai jembatan antara komunitas dengan dewan, juga bagi berbagai elemen menuju 2014
  • Melakukan pemetaan dan pengumpulan data
  • Saling mendukung dan menguatkan di antara anggota FBB
  • Melakukan konsolidasi dalam bentuk forum di tingkat regional
  • Melakukan sosialisasi informasi, misal melalui penyebarluasan buku
  • Menjembatani aspirasi masyarakat terhadap institusi penentu kebijakan
  • Menyamakan pandangan tentang berbagai hal, misal tentang cara pandang melihat Indonesia
  • Melakukan analisis terhadap tulisan yang sudah terkumpul
Keesokan harinya, 26 Juni, tidak ada lagi diskusi di dalam ruang hotel. Diskusi dipindah ke wantilan desa Tenganan Pegringsingan. Sebelum 'geret pandan' dimulai, Pak Mangku dan Pak Sadra menceritakan sistem pemerintah dan struktur keruangan yang ada di Tenganan. Intinya, keberlanjutan atas kehidupan hanya bisa terjadi jika keseimbangan alam tetap dijaga. Konsep tersebut disimbolkan oleh empat pintu gerbang yang ada di setiap penjuru mata angin dan ritual ngayunan loka, memutar bumi.

Ada banyak kearifan yang menyebabkan Tenganan tetap bertahan selama lebih dari 10 abad. Namun di tengah kemajuan jaman dan teknologi, satu hal yang menjadi kekhawatiran adalah saat ini ritual yang dilakukan tidak lagi dipahami maknanya, padahal nilai filosofis yang terkandung di dalamnya sangat besar. Di samping itu, sistem pemerintahan negara dan pasar yang ada saat ini justru telah melakukan penjajahan baru melalui pikiran. Buah untuk persembahan terbaik tidak lagi berasal dari kebun dan hasil kerja menanam, melainkan didapat dari 'pasar impor'.

Upaya keras atas perebutan sumberdaya lokal memang perlu dilakukan, namun hal terpenting juga adalah merebut dan memiliki kembali cara pikir berdasarkan ajaran dan filosofi para leluhur. Hidup dalam rasa kenyang memang sangat diharapkan, namun jangan sampai rasa kenyang yang sudah ada membunuh motivasi kerja dan kreativitas. Kedua orang bijak dari Tenganan tersebut selalu khawatir atas desa mereka. Sistem, sumberdaya, dan warisan para leluhur sudah 'mengenyangkan' orang Tenganan, yang pada akhirnya terlena atas pujian yang diberikan orang luar terhadap kelebihan dirinya. Simulacra atas apresiasi memang terjadi.

Perjalanan kami lanjutkan ke Sibetan, desa yang ketika jaman kerajaan bermusuhan dengan Tenganan. Lewat Jaringan Ekowisata Desa, salah satu banjar di desa tersebut kemudian berkawan akrab dan menggapai mimpi bersama. Banjar Dukuh, upaya penguasaan atas sumberdaya sudah mulai tampak. Wine salak yang dihasilkan laku keras. Hampir 50 botol berukuran 750 ml dan 330 ml dibeli oleh para jaringan Praxis. Tidak perlu lagi diskusi, bukti dan kesimpulannya sudah jelas, "Kapan lagi minum wine di pabriknya ..."

Kegiatan penutup: makan malam di Warung Beten Gatep. Ikan dan ayam bakar, belut goreng, pes tlengis, juga sayur gonda dan kangkung. Pesta kebun ditemani nyala lilin beraroma lembut. Keindahan dan rasa syukur juga ada di antara kekhawatiran atas hidup. Ditambah tari Margapati yang dibawakan Binar, hidup menjadi indah ketika disyukuri.

2010-06-17

Sosialisasi Program Tata Ruang di Desa


Sosialisasi Program Mengembalikan Kedaulatan Ruang Komunitas sudah selesai dilakukan pada bulan Juli 2010. Selain untuk sosialisasi program 'Tata Ruang', kegiatan ditujukan juga untuk mengawali kegiatan identifikasi dan verifikasi rencana kelola ruang desa yang sudah dibuat pada tahun 2000-2001. Ada banyak hal yang sudah berubah selama sepuluh tahun, baik di Kiadan Pelaga, Dukuh Sibetan, Tenganan Pegringsingan, maupun Nusa Ceningan.

Pertemuan di empat kewilayahan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa kegiatan identifikasi dan verifikasi data akan diselesaikan pada akhir Juli, sebagai bahan acuan tim ahli melakukan kajian akademis atas rencana kelola ruang yang sudah mereka miliki. Khusus di Nusa Ceningan, setelah 'berjalan sendiri' selama lebih dari 10 tahun, akhirnya Desa Adat Lembongan mempunyai keinginan untuk bergabung dalam program penataan ruang desa. Sebagai catatan, Nusa Ceningan merupakan bagian dari Desa Adat Lembongan. Kegiatan pemetaan sepuluh tahun lalu hanya dilakukan di Nusa Ceningan yang ketika itu 'terancam' oleh megaproyek pariwisata.

2010-06-11

Mengembalikan Kedaulatan Ruang Komunitas

Program Rencana Kelola Ruang Wilayah Desa kembali akan dilanjutkan. Diawali pada tahun 2000-2001 ketika masyarakat Kiadan Pelaga, Dukuh Sibetan, Tenganan Pegringsingan, dan Nusa Ceningan membuat peta wilayah dan membuat rencana kelola ruang berdasarkan potensi dan masalah. Kemudian disepakati bahwa pengelolaan ruang akan dilakukan berdasarkan konsep 'ekologis kemasyarakatan' yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata.

Secara legal, keempat rencana kelola ruang tersebut sudah disepakati oleh masyarakat, juga desa tetangga sebagai pendamping wilayah. Tahun ini, kesepakatan tersebut akan diajukan secara legal formal kepada negara melalui pemerintah daerah dengan bantuan anggota dewan. Dukungan diharapkan datang dari kedua komponen tersebut untuk lebih menguatkan rencana kelola ruang desa dalam sistem kenegaraan. Hal ini menjadi tepat bersamaan dengan momentum peresmian Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali.

Sebagai tahap awal, pada tanggal 5 Juni 2010 dilakukan rapat persiapan di Yayasan Wisnu. Pertemuan dihadiri oleh perwakilan empat desa, tim ahli yang nantinya akan mengkaji rencana kelola yang sudah diperbarui secara akademis, dan tim hukum yang akan membantu pembuatan rencana kelola ruang desa secara legal formal.

Program ini diharapkan juga bisa menjadi pintu masuk bagi Bali berbicara di tingkat negara melalui tahapan:
  • Membuat 'payung besar' perencanaan Bali dalam tataran negara karena ada hal-hal adat yang tidak bisa dipahami 'negara'
  • Menyadarkan para dewan dan pemerintah daerah atas hak masyarakat menentukan dan mengelola ruang kewilayahannya
  • Membuat undang-undang perlindungan masyarakat adat di tingkat negara
Program akan dilaksanakan selama sepuluh bulan sampai dengan Maret 2011 atas bantuan pendanaan dari Yayasan Tifa, Jakarta.

Identifikasi Tanaman di Wisnu


Identifikasi tanaman dilakukan sebagai bagian dari program pengolahan data dan informasi. Kegiatan ini ditujukan untuk mengetahui berbagai jenis tanaman yang tumbuh di areal Wisnu, meliputi pohon, perdu, dan tanaman budidaya, juga untuk mengetahui fungsinya sebagai tanaman pangan, obat, dan kebutuhan upacara. Kegiatan ini juga merupakan bagian dari pengembangan pertanian yang dilakukan oleh Sekaa Tales (Tani Lestari).

Sedikitnya ada 50 jenis pohon (tanaman keras) yang sudah berhasil diidentifikasi, di antaranya gatep dan sukun. Gatep atau gayam (Inocarpus edulis) kemudian dijadikan nama untuk warung yang berada di bagian depan areal Wisnu. Karena letaknya di bawah pohon gatep, maka dinamakan Warung Beten Gatep. Buahnya bisa direbus dan dijadikan tepung. Daunnya bisa untuk mengobati kencing batu dan untuk obat bisul, sementara kulit pohon untuk mengobati rematik. Bijinya bisa juga digunakan sebagai sumber bahan bakar nabati. Di Bali, buah gatep digunakan sebagai kelengkapan banten bagia pule kerti, pengadang-adang, dan dewa-dewi.

Sementara jenis perdu diidentifikasi sedikitnya 34 jenis. Rambusa (Passiflora foetida) adalah jenis yang berbunga paling cantik. Mirip seperti bunga markisa (Passiflora edulis) namun ukurannya lebih kecil. Buahnya bisa dimakan dan pucuk daun bisa dimasak sebagai sayur. Jenis lain yang menarik adalah kembang bintang atau kitolod (Isotoma longiflora). Bunganya yang seperti bintang berfungsi untuk mengatasi gangguan mata dan katarak. Sementara getahnya yang mengandung racun berfungsi sebagai antiradang, antikanker, menghilangkan nyeri dan menghentikan pendarahan.

Juga ada beberapa jenis teratai atau padma di kolam Wisnu. Sedikitnya ada tiga jenis, yaitu teratai putih (Nymphaea odorata), teratai merah (Nymphaea rubra), dan teratai ungu (Nymphaea nouchali). Tanaman lain yang cukup banyak adalah anggrek, yang sampai saat ini belum dilakukan identifikasi terhadap jenis yang ada.

Hasil identifikasi ini nantinya akan diterbitkan dalam bentuk buku. Selain berisi berbagai jenis tanaman yang ada di Wisnu, buku ini juga akan menceritakan proses pertanian yang dilakukan oleh Sekaa Tani Lestari. Saat ini kegiatan yang sedang dilakukan adalah penyiapan lahan dan renovasi kandang sapi sebagai sumber energi alternatif.