2011-11-03

Keluarga Baru

Telah lahir dengan selamat pada tanggal 3 Nopember 2011, jam 08.30 di halaman selatan kantor Yayasan Wisnu. Laki-laki, panjang 80 cm, warna coklat kehitaman. Ajaib! Tidak sampai satu jam, sang bayi sudah langsung bisa berjalan. Terima kasih untuk semua dukungan alam semesta ...

2011-10-10

Beradaptasi terhadap Perubahan Iklim

Saat ini, sekitar 40% lahan pertanian di Bali mengalami kekeringan. Hal itu terjadi akibat panas yang berkepanjangan, diperkirakan akibat perubahan iklim. Bukan hanya itu, tinggi muka air bendungan juga sudah mengalami penurunan, contohnya di bendungan Palasari. Akibat lanjutannya adalah, lahan kritis semakin luas dan petani mengalami gagal panen yang berdampak pada penurunan pendapatan ekonomi.

Kondisi tersebut disampaikan oleh para peserta diskusi terfokus tentang "Adaptasi Perubahan Iklim", pada 22 September 2011 di Yayasan Wisnu. Diskusi diselenggarakan oleh The Samdhana Institute dan Stockholm Environment Institute. Peserta terdiri dari beberapa komponen, yaitu pemerintah daerah, akademisi, masyarakat adat, dan LSM.

Terkait dengan perubahan iklim, ada beberapa, bahkan banyak hal yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak, terutama pemerintah daerah seperti Dinas Kehutanan dan BLH. Namun kemudian dikritisi bahwa kebijakan yang dikeluarkan belum diimplementasi secara sesuai dan belum menjawab permasalahan dan kekhawatiran yang ada. Negara banyak membuat aturan, namun juga melanggar aturan yang dibuat. Ditambah lagi, tidak ada pihak yang mengatur pelaksanaan peraturan tersebut sehingga kehidupan saat ini menjadi tidak teratur. Contohnya, berdasarkan hasil kajian, Bali sudah kelebihan 9800 kamar hotel. Namun hal tersebut hanya sebatas kajian, sehingga perebutan atas sumberdaya lahan, air, dan energi tetap terjadi bahkan semakin parah. Sampah juga semakin menumpuk tanpa pengelolaan yang baik.

Fakta yang mendukung kondisi di atas semakin parah adalah, luasan bumi tetap namun jumlah penduduk semakin bertambah, saat ini mendekati angka 6 milyar. Khusus Bali, ada 4 juta orang yang tinggal di atasnya, padahal kapasitas daya tampung dan daya dukung optimal hanya untuk 1,5 juta orang. Kehidupan setiap individu kemudian bersifat ambigu, hanya berteori tanpa dipraktekkan. Contohnya, Wisnu selalu berbicara untuk mengurangi sampah plastik, tapi salah satu kudapan yang disajikan memakai plastik. Hehe ... Padahal hidup yang benar berdasarkan ajaran Bali haruslah ngeret indria, bukan ngulurin indria seperti banyak dilakukan saat ini.

Salah satu hal penting yang bisa dilakukan dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim adalah laku hidup santun bersama. Caranya, dengan melakukan pembatasan diri, kemudian membiasakan diri mempraktekkan laku santun. Pembiasaan diri yang sangat mudah untuk dilakukan misalnya menanam pohon atau melepas burung pada setiap hari lahir, atau membawa tas belanja sendiri ketika berbelanja. Pembatasan dan pembiasaan diri pada akhirnya perlu dilembagakan dalam aturan adat.

Pembicaraan di tingkat provinsi seperti diceritakan di atas kemudian dilanjutkan ke tingkat desa. Desa yang dipilih adalah Kiadan Pelaga di Petang, Badung. Pilihan didasarkan pada kebutuhan untuk melihat dampak perubahan iklim yang sudah dirasakan oleh anggota subak abian. Sebagai informasi, Kiadan Pelaga merupakan desa penghasil kopi yang petaninya tergabung dalam Subak Abian Sari Boga. Diskusi ini dilakukan pada 24 September 2011.

Sedikit berbeda dengan pembicaraan tingkat provinsi yang bersifat umum, peserta diskusi terfokus kelompok subak lebih menceritakan secara detil hal-hal yang sudah dirasakan. Sudah dua kali para petani kopi gagal panen karena curah hujan yang tinggi dan berkepanjangan sehingga menggugurkan bunga kopi. Dan, jika kemarau, panas matahari sangat terik sehingga melayukan bunga kopi. Para petani pada akhirnya harus mencari kerja sampingan sebagai buruh bangunan, sampai ke luar desa. Bagi yang tidak bisa, harus mengurangi pengeluaran untuk konsumsi harian.

Dirasakan juga, ada banyak tanda alam yang mulai hilang. Misalnya, para orang tua selalu melihat kabut atau awan yang menyelimuti gunung untuk mengetahui apakah hujan akan turun di Kiadan. Namun, sejak dua tahun terakhir, kabut atau awan di sekitar gunung tidak lagi bisa dijadikan patokan. Hujan datang tiba-tiba tanpa tanda-tanda, atau jika ada awan yang menyelimuti gunung, belum tentu juga hujan akan turun.

Walaupun demikian, para petani tetap melakukan upaya untuk tetap bisa bertahan di tengah ketidakjelasan cuaca, baik secara niskala maupun sekala. Ritual upacara memohon keselamatan tanaman tetap dilakukan, mulai dari nyaap (sebelum menanam), peneduhan (setelah tanaman tumbuh), nglamping aturin (setelah panen), ngusaba, dan nangsil yang dilakukan dua tahun sekali. Sementara, secara sekala di antaranya
melalui reboisasi hutan, penanaman berbagai jenis tanaman bambu, dan mengembangkan jasa lingkungan melalui ekowisata.

2011-10-05

Mengolah Kekayaan Indonesia: UMBI


Indonesia adalah negara yang dianugerahi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Satu di antaranya adalah UMBI, seperti ubi, talas, gadung, dan ketela ungu. Masyarakat Dani di Wamena, megenal ratusan jenis umbi - mereka menyebutnya hipere. Sementara di Yogyakarta, sedikitnya ada 65 jenis umbi yang dikenal. Bali sendiri, mempunyai sedikitnya 75 jenis umbi yang bisa diolah!


Sayangnya, saat ini puluhan bahkan ratusan jenis umbi tersebut berhasil 'dikalahkan' oleh satu jenis pangan yang sangat terkenal dan kita dibuat tergantung padanya: BERAS. Melalui sistem dan kebijakan yang telah dibangun puluhan tahun sejak zaman 'penjajahan Belanda', masyarakat yang memiliki puluhan bahkan ratusan umbi dikatakan miskin jika tidak mengkonsumsi beras. Padahal, tidak mungkin tanah kering di Papua atau di Bali bisa ditanami padi. Akibatnya, ketergantungan pada pihak luar menjadi sangat tinggi karena tidak mau dikatakan miskin.

Kita bisa belajar dari masyarakat adat Cireundeu, Leuwigajah, Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat. Sejak hampir seabad lalu, tahun 1924, mereka selalu mengkonsumsi rasi - nasi singkong. Beras yang dinilai sebagai simbol penjajahan, dilawan dengan kearifan "tak punya sawah asal punya padi, tak punya padi asal punya beras, tak punya beras asal bisa menanak, tak menanak nasi asal makan, tak makan asal kuat". Artinya, makan tidak harus nasi ... bisa makan apa pun asalkan kuat. Kearifan ini digunakan untuk melawan Belanda yang ketika itu menguasai distribusi beras, sementara lahan di desa tersebut tidak cocok ditanami padi.

Rasi adalah bentuk perlawanan terhadap penjajahan, juga bentuk terhadap kemandirian pangan. Mengkonsumsi pangan yang tumbuh dari lahan sendiri artinya tidak tergantung pada suplai bahan pangan dari pihak luar. Dengan tidak tergantung pada satu jenis pangan, apalagi yang berasal dari luar, kita semakin mampu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini mulai dirasakan.

Maka, Minggu 25 September 2011 dipilih sebagai hari untuk mengadakan pelatihan pengolahan umbi. Kegiatan dimulai pada jam sembilan padi, difasilitasi oleh Ibu Sri Mulyani dari Fakultas Teknologi Pertanian Unud. Ibu Sri ditemani rekannya dari fakultas yang sama, Ibu Puspawati dan Ibu Sri Wiadnyani. Kegiatan diikuti oleh ibu-ibu dan pemudi dari Kiadan Pelaga, Dukuh Sibetan, Tenganan Pegringsing, Selat Buleleng, dan Pengubengan Kerobokan. Ditambah mereka yang tertarik dengan diversifikasi olahan umbi.



Ada banyak olahan umbi yang bisa dibuat, namun ketika itu hanya dibuat beberapa olahan, yaitu kue mangkok ubi ungu, chips talas, cookies singkong, brownies ubi ungu, dan selai ubi ungu. Hampir semua berbahan dasar tepung umbi, jadi dilatih juga cara membuat tepung umbi. Untuk singkong dan ubi ungu melalui proses yang sama, yaitu umbi bisa langsung dikeringkan dengan oven atau matahari setelah dicuci dan dipotong kecil tipis, sebelum dijadikan tepung. Namun untuk talas, talas yang telah dicuci dan dipotong-potong harus direndam dulu dalam larutan garam 7,5% selama 12 jam sebelum dijemur. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan getah yang bisa menimbulkan rasa gatal di lidah.



Nyam ... menjelang makan siang, semua olahan sudah bisa dicicipi. Semua habis tak bersisa. Satu hal yang menjadi PR: adakah kelompok yang mau serius membuat olahan umbi, sehingga bisa menarik minat banyak orang untuk mulai mengkonsumsi umbi?

2011-09-20

Lika-liku Implementasi SVLK di Bali

"Dua tamu langganan saya sudah tidak pernah muncul karena mereka menanyakan sertifikat legal. ... Sebagai pengrajin kecil, saya masih merasa sulit mencari sertifikat legal. Selain karena biayanya mahal - sekitar 4.000 euro, saya juga harus menyapkan tempat kerja yang sesuai standar ... Modal tidak cukup untuk menyiapkan semuanya."

Penyiapan pengelola hutan rakyat dan industri kecil untuk memenuhi semua persyaratan administratif dan sistem produksi yang dipersyaratkan dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu ternyata membutuhkan upaya yang lebih keras dan waktu yang sedikit lebih panjang. Dukungan dari pemerintah daerah berupa kemudahan birokrasi perizinan dan dukungan infrastruktur kebijakan masih juga dibutuhkan.

Catatan pembelajaran dari aktivitas selama lima bulan ini diharapkan dapat memberikan gambaran lengkap atas berbagai hal tersebut, dan dapat menjadi pengingat bagi para pihak yang terkait untuk segera bergerak dan bertindak, untuk mendukung usaha kecil masyarakat dalam pengembangan hutan skala kecil serta industri furnitur dan kera jinan berbahan baku kayu lainnya.

"Kami sebenarnya sudah melakukan pengelolaan hutan lestari, jika diartikan sebagai segala bentuk pengelolaan hutan dan hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara tradisional ... Kekurangan kami adalah tidak melakukan pencatatan apapun setelah kami melakukan penanaman dan pemanenan."
_______________________

BALIWOOD BALIGOOD: Lika-liku Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu di Bali
Penerbit: WIsnu Press
Penyunting: Atiek Kurnianingsih
ISBN: 978-979-97156-5-4
106 halaman, 15 x 21 cm
Harga: Rp 55.000,00
Hubungi: Denik Puriati (08990144896)

2011-09-19

BALIISME



Tidak lama lagi, hanya sepuluh tahun ke depan, yaitu pada tahun 2020 kesepakatan semua negara di dunia untuk menjalankan agenda pasar bebas resemi diberlakukan. Saat ini, ketika kesepakatan tersebut belum resmi diberlakukan, Bali telah merasakan dampaknya. Kepantingan pasarlah yang mengatur perdagangan dunia.

Apakah agenda pasar bebas yang meletakkan manusia individual sebagai sebjeknya dan alam sebagai objek bersifat materialism yang eksploitatif akan mampu menjaga keberlanjutan kehidupan dan menyejahterakan umat manusia?


________________________

Penulis:
  • I Made Suarnatha
  • I Ketut Sumarta
  • IBM. Dharma Palguna
  • AA. Ngurah Made Arwata
  • Atiek Kurnianingsih
  • Wayan P. Windia

Penerbit: Wisnu Press
200 halaman, 14,8x21 cm
ISBN: 978-979-97156-4-7
Harga: Rp 27.000,00
Hubungi: Denik Puriati (08990144896)

2011-09-15

Sarasehan Pangan Sehat


Rabu, 8 Juni 2011 - Sarasehan Pangan Sehat

Kimpul, mushroom chips, tortila, emping garut, kerupuk ganyong, rengginang ... juga berbagai macam kue kering. Abon, susu, kecap juga ada. Semua tertata di atas meja, di Warung Beten Gatep. Hampir sama dengan barang-barang yang ada di pasar atau swalayan. Bedanya, semua yang ditata adalah makanan yang terbuat dari bahan-bahan organik, serta bebas zat pengawet dan pewarna. Bahkan, di antaranya ada yang tidak mengandung gluten.

Gluten adalah protein lengket dan elastis yang terkandung di dalam beberapa jenis serealia, terutama gandum, jewawut (barley), rye, dan sedikit dalam oats. Jadi, gluten ada dalam roti, biskuit, pasta, sereal sarapan (breakfast cereal), mi, dan semua jenis makanan yang terbuat dari tepung terigu. Dalam proses pembuatan roti, gluten bermanfaat untuk mengikat dan membuat adonan menjadi elastis sehingga mudah dibentuk.



Bagi mereka yang sensitif terhadap gluten, mengkonsumsi gluten dapat menimbulkan efek buruk, seperti alergi dan penyakit seliak (coeliac disease). Termasuk, anak autistik disarankan untuk menjauhi gluten dan kasein (protein yang terkandung dalam susu). Kedua protein ini dianggap sebagai racun karena tubuh autistik tidak menghasilkan enzim yang dapat mencerna gluten dan kasein - sehingga dapat mengganggu fungsi otak dan sistem imunitas, serta menimbulkan gangguan perilaku.

Hal itulah yang mendorong Ibu Christien Ismuranty memproduksi produk-produk KAINARA, ketika Kay - anak ketiganya diketahui autistik. Tidak ada makanan yang tersedia di pasar atau swalayan, bisa dipilih dan 'aman' untuk Kay. Setelah mengkonsumsi makanan pabrik, Kay cenderung berperilaku sangat aktif. Sementara, Kay juga memerlukan makanan yang bisa 'memanjakan' lidahnya. Bukan hanya Kay, ada anak lain yang juga mengalami hal serupa ...

Makanan 'alami' dan bervariasi

You are what you eat ...jadi, bukan hanya bagi autistik, kita juga harus memilih apa yang kita makan. Semakin alami dan bervariasi, semakin baik untuk tubuh kita:
  1. Masing-masing warna alami pada makanan, seperti merah pada tomat, hijau pada brokoli, dan kuning pada kunyit mempunyai fungsinya masing-masing ... jadi semakin banyak warna alami makanan yang kita konsumsi, semakin bagus untuk kesehatan
  2. Makanan segar, apalagi yang baru dipetik mengandung berbagai zat dan vitamin yang masih utuh. Sangat bijaksana jika kita mau menanam sendiri, paling tidak mengkonsumsi makanan lokal (bukan impor)
  3. Tubuh membutuhkan banyak variasi makanan, termasuk sumber karbohidrat. Nasi putih bukan satu-satunya sumber karbohidrat, bisa juga didapat dari nasi merah. Selain itu, Indonesia juga dikarunia dengan beraneka macam umbi yang kaya karbohidrat dan bebas gluten

Dan ... akan semakin sempurna jika kita bisa memilih dan memakan makanan organik. Saat ini, makanan organik masih agak sulit ditemui dan harganya masih lebih tinggi dibanding yang tidak organik. Maka, pilihan bijaknya adalah menanam sendiri sayuran yang kita makan. Demikian yang disampaikan Ibu Hira Jhamtani, memperkuat cerita Ibu Christien. Ibu Hira ketika itu membawa lontong singkong buatan sendiri. Singkong diparut, dicampur sagu, bungkus daun pisang, kukus. Bisa membuat banyak sekaligus, disimpan dalam lemari es. Kalau mau makan, hanya perlu dipanggang sebentar.

Ajakan tambahan dari Ibu Hira:
  1. Tubuh yang sehat berasal dari semua yang sehat. Jadi, sebisa mungkin hindari MSG, zat pengawet, pewarna buatan, dan zat kimia lainnya
  2. Bisa karena biasa. Salah satunya, biasakan untuk mengkonsumsi makanan sehat dan segar yang bukan buatan pabrik
  3. Salah satu dampak perubahan iklim adalah hasil panen yang menurun, termasuk padi. Salah satu cara beradaptasi terhadap hal tersebut adalah mengkombinasikan sumber karbohidrat, antara nasi dengan umbi karena umbi terbukti lebih tahan terhadap perubahan iklim dibanding padi


Sarasehan ditutup dengan pemutaran film "Dilarang Makan Sampah". Film menceritakan tentang kondisi satu desa di Sulawesi. Hampir semua anak-anak sekolah dasar di desa tersebut mengkonsumsi "sampah" setiap hari, yaitu makanan ringan yang banyak mengandung zat pengawet, perasa, dan pewarna kimia. Kandungan dalam makanan tersebut secara perlahan akan meracuni tubuh. Padahal, desa tersebut mempunyai beragam makanan sehat. Maka, mari kita mulai makan makanan sehat ... seperti makan siang saat sarasehan selesai: pepes jamur, belut goreng, tempe bacem, sayur urap, jukut undis, dan nasi sela. Nyam ... !!!

2011-08-25

Juru Pencar di Perancak



Juru pencar juru pencar
Mai jalan mencar ngejuk ebe
Be gede gede
Be gede gede

Di sowane ajake liu


Jumlah juru pencar di Desa Perancak, Negara tidak lagi sebanyak 10-20 tahun yang lalu. Tinggal beberapa orang yang saat ini menguasai seni pencar, salah satunya adalah Pak Sarka. Pak Sarka masih setia menjalani profesinya, walaupun ikan yang didapat tidak lagi sebesar 20, bahkan 10 tahun yang lalu. Hal ini yang menyebabkan sebagian besar nelayan Perancak, walaupun memiliki jaring pencar, tidak lagi menjalani profesi juru pencar.

Tidak ada lagi 'be gede' di sepanjang laut tepi Perancak, bahkan di laut dangkal dan dalam. Jaring berukuran 1 cm yang digunakan kapal-kapal purse seine telah mengambil ikan besar dan kecil yang ada. Padahal berdasarkan peraturan, jaring yang boleh digunakan adalah yang berukuran 1 inci atau 2,54 cm. Keuntungan besar sudah didapat para pemilik kapal besar ini, dengan jumlah ekstrim Rp 300 juta dalam semalam, dari sekitar 30 ton ikan lemuru yang berhasil ditangkap, dan jenis lain ikutannya. Pabrik pengalengan ikan sudah menunggu ...

Bukan hanya ukuran ikan yang semakin mengecil. Waktu yang dibutuhkan untuk menangkap ikan juga semakin panjang. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh para juru pencar, melainkan juga para nelayan tradisional pengguna jukung. Walaupun jarak penangkapan sudah semakin jauh dari pantai, hasil yang didapat masih belum bisa memenuhi kebutuhan hidup.



Satu upaya harus dilakukan oleh para juru pencar dan nelayan tradisional bersama para nelayan modern dan pemerintah daerah, agar ikan yang didapat kembali berukuran besar dan jumlahnya semakin banyak ... bahkan yang berada di muara. Mungkin dengan membuat wilayah konservasi laut tempat ikan bertelur dan membuat aturan sasi seperti di Maluku dan Papua. Sehingga para nelayan dan anak-anak nelayan bisa lagi bernyanyi Be gede gede ... be gede gede ... di sowane ajake liu ...

2011-08-23

Kunjungan ke Ketua Dekranasda Bali


Senin, 22 Agustus 2011

Kunjungan ke kediaman Ketua Dekranasda Bali dilakukan sebagai rangkaian dari kegiatan penyiapan sertifikasi VLK. Berkunjung ke kediamanan adalah Ibu Diah Raharjo dan Bapak Irfan Bakhtiar dari MFP Jakarta, serta Bapak Suarnatha dan Atiek Kurnianingsih dari Yayasan Wisnu. Rombongan diterima oleh Ibu Ni Wayan Kusumawathi sebagai sekretaris Dekranasda Bali.



Ibu Ayu Pastika menemui rombongan dalam ruangan seluas sekitar 6x8 meter, dikelilingi empat pintu kayu dan pot tanaman di sudut ruang. Dinding ruang berhiaskan wallpaper berwarna kuning keemasan dengan foto Ibu dan Bapak Gubernur. Dalam ruang inilah Ibu Diah memberikan buku BALIWOOD BALIGOOD kepada Ibu Ayu Pastika.


Singkat cerita, Ibu Ayu dan Ibu Kusumawathi berkomitmen untuk tetap mendukung pelaksanaan SVLK di Bali, terutama untuk para pengrajin kecil. APIK Buleleng sebagai model industri kecil kehutanan yang siap disertifikasi, diharapkan bisa dijadikan bahan belajar bagi industi kecil kehutanan lainnya di Bali.

2011-08-13

BALIWOOD BALIGOOD


Degradasi hutan yang terus terjadi di Indonesia sejak tahun 1990an, menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan untuk perbaikan pengelolaan hutan di Indonesia, termasuk di dalamnya jaminan kelestarian serta legalitas produk kayu dan industri berbahan baku kayu dari Indonesia. Menjawab tantangan tersebut, pada tahun 2009 Indonesia menetapkan kebijakan dalam penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dan penilaian/verifikasi legalitas kayu (VLK) melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tetang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak dan Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu. Untuk memastikan pelaksanaannya di lapangan, peraturan tersebut telah pula dilengkapi dengan aturan pelaksanaan dan kriteria penilaian yang termuat dalam Perdirjen BUK No. 06/2009 dan No. 02/2010.

Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa merupakan contoh negara-negara yang terus mendorong Indonesia untuk menjamin legalitas kayu dan produk turunannya. Kesepakatan Kemitraan Sukarela untuk Penegakan Hukum Kehutanan, Tata Kelola, dan Perdagangan (FLEGT-VPA) antara Indonesia dan Uni Eropa kemudian ditandatangani pada 4 Mei 2011. Kesepakatan ini akan mengaitkan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai sebuah pendekatan ringan. Dengan SVLK, hanya kayu dan produk kayu yang disertai dengan sertifikat legal yang dapat dijual di pasar domestik maupun diekspor. Dalam dokumen disepakati bahwa VLK akan berlaku di tahun 2013.

Ketika negara-negara penerima kayu Indonesia mulai berbenah untuk memperbaiki lingkungan, para pengusaha kayu Indonesia, termasuk para pengrajin di Bali, juga harus mulai mempersiapkan diri mengikuti aturan global. Bali, sebagai provinsi yang diposisikan sebagai ’jendela’ ekspor produk kerajinan - termasuk yang terbuat dari kayu, juga harus menerapkan kebijakan kayu legal. Sosialisasi dan kajian harus dilakukan secara terus-menerus kepada para pengusaha kayu sebelum kebijakan ini diberlakukan. Terlebih lagi, produk kayu ekspor Bali mempunyai karakter yang berbeda dibanding daerah lain pengekspor kayu di Indonesia. Sebagian besar peng-usaha produk kayu adalah para pengrajin rumahan berskala kecil dan mikro. Kebijakan ini juga harus disosialisasikan kepada para petani hutan karena sebagian besar sumber bahan baku kerajinan kayu di Bali berasal dari hutan hak/milik masyarakat.

Yayasan Wisnu - sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan dan transformasi sosial, kemudian bekerja sama dengan APIK (Asosiasi Pengrajin Industri Kecil) Buleleng dan MFP (Multistakeholder Forestry Programme) - kolaborasi program di bidang kehutanan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Inggris. Sebuah model pengelolaan industri kecil berbahan kayu disiapkan sejak Maret 2011 untuk menerapkan aturan SVLK, dan siap disertifikasi. Pilihan terhadap industri kecil dikarenakan skala ini sering termarginalisasi dalam kancah pedagangan global. Ada beberapa kesulitan yang ditemui para pengusaha industri kecil kehutanan (pengrajin dan petani hutan hak) dalam memenuhi serentetan perizinan yang tepat, termasuk adanya kegagapan tertib administrasi. Hal lain yang dihadapi adalah kesenjangan ‘pendampingan’ dari pemerintah serta ketidaktepatan dalam izin dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Peluncuran model industri kecil berbahan kayu menuju sertifikasi PHPL dan VLK dilakukan pada 12 Agustus di Gedung Wanita Laksmi Graha, Singaraja. Pilihan atas Buleleng didasarkan pada hasil penelitian bahwa Buleleng merupakan kabupaten dengan hutan terluas di Bali, dan sebagian hasilnya digunakan sebagai bahan baku industri kerajinan. Di samping itu, perilaku petani hutan hak saat ini mengarah pada ‘semangat menanam’, terutama jenis tanaman keras yang secara ekonomi mendatangkan penghasilan yang cukup besar. Program penghijauan yang dilakukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Buleleng juga mendorong para petani ikut menghijaukan lahannya.

APIK Buleleng, sebagai wadah pemersatu antara para pengrajin dengan petani hutan hak, sedang berusaha untuk bisa mendapatkan sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Hambatan yang dihadapi bukan hanya secara internal, melainkan juga karena faktor kebijakan pemerintah daerah yang belum mengeluarkan izin industri primer untuk usaha penggergajian kayu yang dimiliki. Sementara, legalitas atas izin usaha tersebut merupakan salah satu faktor yang menentukan kelegalan satu produk kerajinan kayu.

Peluncuran Model Industri Kecil Kehutanan menuju Sertifikasi PHPL dan VLK

Kegiatan dilaksanakan pada 12 Agustus 2011 di Gedung Wanita Laksmi Graha, Singaraja. Peluncuran dihadiri lebih dari 150 orang dari berbagai pihak: petani hutan hak, pengrajin, akademisi, LSM, pemerintah pusat dan daerah, juga media cetak dan elektronik.

Konferensi pers
Hadir sebagai narasumber adalah APIK Buleleng, Yayasan Wisnu, MFP Jakarta, Dirjen BUK Kemenhut RI, PT. Sucofindo, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab Buleleng, serta Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kab Buleleng.




Pembukaan
Menyanyikan lagu Indonesia Raya

Doa Bersama
Dipimpin Ratu Bhagawan Dwija.



Pemaparan Dirjen BUK, Kementerian Kehutanan RI
Diwakili oleh Bapak Ir. Maidiward M.Sc selaku Kasubdit Bina Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Hutan.

Setelah pemaparan, Ketua APIK Buleleng - Bapak Gusti Putu Armada menyerahkan penghargaan berupa patung Singa Ambararaja atas kesediaan Bapak Maidiward memberikan sambutan dan pemaparan tentang SVLK.


Sambutan dan Pembukaan
Dilakukan oleh Kepala Dinas Koperasi, Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Buleleng mewakili Bupati Buleleng. Pembukaan direncanakan akan dilakukan oleh Bupati Buleleng secara langsung, namun beliau harus membuka Lomba Gerak Jalan yang mundur dari rencana awal.

Setelah memberikan sambutan dan membuka kegiatan Peluncuran Model Industri Kecil Kehutanan menuju Sertifikasi PHPL dan VLK, Ketua APIK Buleleng juga memberikan penghargaan kepada Bapak IB Manuaba.



Presentasi Vice President PT. Sucofindo
Bapak Haris Witjaksono memaparkan hasil pra-audit Sertifikasi PHPL dan VLK yang telah dilakukan pada hutan hak serta industri kecil-menengah di Bali pada 24-26 Juni 2011.

Kali ini penghargaan dari APIK Buleleng berupa patung Singa Ambararaja diberikan oleh Ketua Yayasan Wisnu - Bapak Mada Suarnatha.



Presentasi Ketua APIK Buleleng
Bapak Gusti Putu Armada memaparkan upaya yang telah dan sedang dilakukan APIK Buleleng, dan berharap mendapat dukung dari berbagai pihak - termasuk pemerintah daerah, terutama di tingkat Provinsi Bali.

Selaku Ketua APIK Buleleng, Pak Gusti mendapat apresiasi yang sangat tinggi dari para hadirin atas presentasi yang sudah diberikan. Berharap tahun depan APIK Buleleng akan mendapat sertifikat PHPL dan VLK.



Pengantar Buku BALIWOOD BALIGOOD
Ibu Diah Raharjo selaku Direktur Program MFP mengatakan bahwa buku BALIWOOD BALIGOOD: Lika-liku Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu di Bali wajib dibaca oleh semua pihak untuk bisa menerapkan SVLK, terutama di Bali.
Peluncuran buku ditandai dengan penyerahan 'goodie bags' yang berisi buku Baliwood Baligood, Bali DWE, dan Baliisme, serta produk kayu dari APIK dan dupa kepada Ketua APIK Buleleng dan wakil petani hutan hak dari tujuh desa di Buleleng.


Pengantar Pemutaran Film BALIWOOD BALIGOOD
Menceritakan tentang kebingungan pengrajin kecil menghadapi pembeli yang menanyakan "apakah produk ini terbuat dari kayu legal?" Kebingungan dapat terjawab setelah pengrajin mendapat penjelasan dari Bapak Kepala Dinas HutBun dan Ketua APIK di Buleleng.
Sebelum pemutaran film, Pak Suar membeikan 'goodie bags' kepada Ratu Bhagawan dan undangan lainnya.



Pentas Bondres I Sengap
Pemimpin harus mengakomodir kepentingan rakyat, termasuk dalam mempercepat proses para pengrajin mendapatkan sertifikat PHPL dan VLK. Hal tersebut merupakan pesan utama yang disampaikan dalam bondres. Legalitas produk kayu sangat dibutuhkan jika nilai ekspor Bali atas produk kayu ingin tetap dipertahankan, bahkan ditingkatkan.



Acara peluncuran ditutup dengan buka puasa bersama yang menyajikan menu khas Buleleng: jukut undis dan sudang lepet.

2011-06-14

Penyiapan SVLK pada Industri Kecil-Mikro dan Petani Hutan Hak


Kegiatan penyiapan SVLK pada industri kecil-mikro dan petani hutan hak merupakan bagian dari Proyek Penyiapan Model Pengelolaan Industri Kecil Berbahan Kayu Pelaku Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Pelaksanaan proyek didasari pada kenyataan bahwa hasil kerajinan industri kecil berbahan kayu di Bali saat ini paling menonjol dibanding industri kecil lainnya, terutama yang mampu menembus pasar internasional. Sementara, SVLK sebagai satu isu baru di Bali belum banyak diketahui oleh para pengrajin kayu, terutama yang berskala kecil.

Berdasarkan hal tersebut, model industri kecil berbahan kayu yang menerapkan SVLK perlu diciptakan untuk memudahkan pengrajin lain ikut melakukan hal yang sama melalui bukti nyata yang sudah ada.
Petani hutan hak merupakan pemeran penting dalam legalitas kayu, karena kayu yang digunakan sebagai sumber bahan oleh para pengrajin harus berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.

Penyiapan SVLK pada industrik kecil-mikro dan petani hutan hak dilakukan melalui pelatihan dan studi banding. Kegiatan ini merupakan satu upaya untuk meningkatkan pemahaman tentang SVLK dan memberikan pengalaman riil mengimplementasikan SVLK. Kegiatan diikuti oleh 16 orang anggota APIK Buleleng, 5 petani hutan hak Kab Buleleng, 1 pengusaha kayu di Bangli, 5 orang Dinas Kehutanan Buleleng, dan 4 orang Yayasan Wisnu. Secara keseluruhan kegiatan dilakukan di Yogyakarta, mengunjungi 3 tempat usaha dan 2 desa.

Rabu, 8 Juni 2011
Sebelum melakukan studi banding ke Yogyakarta, peserta melakukan pelatihan di Hotel Celuk Agung, Singaraja. Pelatihan ditujukan untuk memberikan gambaran awal secara detil kepada peserta tentang SVLK, termasuk cara mengimplementasikan standar VLK untuk mendapatkan sertifikat legal atas produk yang dihasilkan. Pelatihan selesai dilakukan sekitar jam 6 malam, dan langsung menuju Yogyakarta pada jam 7 malam.

Kamis, 9 Juni 2011
Memasuki kota Jogja sekitar jam 12. Walaupun dalam bis berAC, suhu tetap terasa panas, disebabkan juga karena tidak mandi pagi. Rombongan langsung menuju industri primer penggergajian kayu di Bantul. Lewat dari jam 1, panas terik hawa abu vulkanik dengan jam biologis yang belum terpenuhi tidak mempengaruhi semangat para peserta untuk mendengarkan, bertanya, dan melihat dokumen. Setiap sudut direkam dalam kamera, termasuk oven pengering kayu bersuhu minimal 50 derajat.



Setelah makan enak di Bu Yanti, perjalanan dilanjutkan ke tempat usaha Lamidi Mebel ... masih di Bantul. Sebagai usaha kerajinan rumahan, pencatatan dilakukan dengan sangat detil dan rapi - di bagian kayu yang akan dipotong, dalam lembar pencatatan, dan hang tag pada produk jadi. Ada beberapa formulir yang harus dilengkapi setiap membuat satu bagian produk, seperti lengan kursi. Jadi, ketika dilacak, sumber kayu dari setiap bagian kursi bisa diketahui asalnya.


Mendekati jam 4 sore, tiba di PT. Jawa Furni Lestari di daerah Palagan. Kedua tempat yang sudah dikunjungi sebelumnya adalah pemasok perusahaan ini. Di sinilah peserta bisa mengetahui alur lacak balak secara lengkap ... melalui proses mundur setiap satu langkah, mulai dari barang kemasan siap ekspor di JFL sampai pohon tegakan di hutan. Wow! APIK Buleleng pun berterima kasih melalui cinderamata berupa patung Singaambararaja sebagai ikon Buleleng kepada PT. JFL.



Jumat, 10 Juni 2011
Belajar PHPL - Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Koperasi Wana Manunggal Lestari yang diketuai Bapak Sugeng Prayitno. Ada tiga desa yang tergabung di dalamnya, yaitu Desa Dengok Kec Playen, Desa Kedungkeris Kec Nglipar, dan Desa Girisekar Kec Panggang. Masing-masing desa mempunyai paguyuban kelompok petani hutan hak. Koperasi WML didirikan tahun 2006, dan enam bulan kemudian mendapatkan sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari yang dikembangkan LEI - Lembaga Ekolabel Indonesia. Pengelolaan hutan rakyat di tiga desa tersebut sudah diinisiasi sejak tahun 1970an.



Sertifikat PHBML ditujukan pada wilayah seluas 815 hektar, dengan pendampingan dari Arupa, Shorea, dan PKHR UGM. Khusus untuk sertifikasi hutan rakyat, informasi dan dokumen yang harus disiapkan adalah dokumen kelembagaan, daftar anggota, batas-batas lahan, peta partisipatif lahan, data potensi, dan sistem pengelolaan. Koperasi WML mempunyai batas tebang sebanyak 60 m3 per bulan dari ketiga wilayah desa. Jenis kayu terbanyak yang dihasilkan adalah jati, lainnya adalah mahoni, albesia, dan trembesi.

Kunjungan dilakukan di dua tempat, yaitu Desa Dengok dan Dusun Pijingan di Desa Girisekar. Selaku Ketua Paguyuban Sekar Pijer di Pijingan, Pak Tumino menceritakan proses sertifikasi yang sudah dilalui. Langkah awal adalah membentuk kelompok kecil di setiap dusun. Setiap anggota kelompok kemudian menginventori jumlah, jenis, dan ukuran kayu yang ada di dalam lahannya, sekaligus menggambarkannya dalam peta sketsa. Setelah inventori selesai, sosialisasi dilakukan sebelum mengajukan sertifikasi.

Ketika proses sertifikasi dilakukan dan kemudian mendapatkan sertifikat PHBML, para petani berharap harga kayu mereka akan naik. Namun harapan tersebut sampai saat ini belum terjadi. Keuntungan yang secara pasti dirasakan adalah wilayah tiga desa tidak lagi gersang karena pohon terus tumbuh walaupun di musim kering, di samping itu bantuan fasilitas dari pemerintah seperti pengaspalan jalan juga sudah dirasakan. Satu hal yang pasti, terima kasih atas waktu, tenaga, pikiran yang sudah diberikan untuk saling berbagi. Perjalanan ke Jogja memberikan gambaran yang lebih jelas tentang SVLK, termasuk pengelolaan hutan lestari. Patung Singaambararaja sengaja dibuat dan dibawa oleh APIK Buleleng dan para petani hutan hak Buleleng sebagai ucapan terima kasih.

Sabtu, 11 Juni
Waktunya untuk meningkatkan pengetahuan sejarah bangsa. Borobudur ... berangkat dari hotel jam 04.20, berharap bisa melihat matahari terbit dari puncak candi. Ternyata harus mengeluarkan uang Rp 220.000/orang untuk bisa masuk dari Manohara, sebelum pintu masuk dibuka jam 6 pagi. Tidak harus dari puncak ... matahari di antara dua gunung tetap terlihat cantik. Borobudur menyuguhkan cerita baru tentang Kapal Samudraraksa.




Kembali menghirup energi alam. Prambanan. Namun ada sudut sepi dan sedih. Bisakah ditanami pohon-pohon besar di sekitarnya? Adakah mabakti rutin dilakukan? Suatu saat ... kami akan kembali untuk mabakti secara khusus.