2010-07-12

Menuju Bali Shanti melalui Desa Wisata Ekologis


"Hasil penelitian memang sesuai dengan realitas yang ada di desa. Persoalan tersebut sudah ada sejak awal melakukan ekowisata karena menggunakan rumah penduduk seperti apa adanya. Hal penting yang harus dilakukaan sekarang adalah menetapkan standar yang bisa dikelola bersama." Demikian Pak Sita mengemukakan pendapatnya di depan sekitar 35 orang yang berkumpul di ruang pertemuan Wisnu. Hari itu Rabu, 7 Juli 2010, lewat dari jam 10 pagi.

Kegiatan ekowisata di empat desa melalui JED memang sudah berjalan selama 8 tahun, dan setiap tamu yang berkunjung selalu dimintakan kesediaannya mengisi lembar evaluasi. Berdasarkan catatan data evaluasi selama tahun 2008 diketahui bahwa catatan terbanyak dari para tamu adalah untuk akomodasi, terutama toilet. Perbaikan dan pengaturan atas fasilitas yang sudah ada perlu dilakukan untuk setidaknya bisa memenuhi kenyamanan standar minimal dari tamu yang berkunjung dan menginap di desa.

Catatan terbanyak lainnya adalah untuk kebersihan dan pengelolaan sampah. Sudah disadari bahwa pengelolaan sampah plastik dan anorganik lainnya perlu dilakukan dan sudah mulai diupayakan, namun tidak demikian dengan sampah organik. Catatan yang ada tidak bisa diterima begitu saja, melainkan perlu dianalisis berdasarkan latar belakang budaya. Misal dengan pernyataan jalur treking tidak bersih. Jika yang membuat tidak bersih adalah sampah plastik, memang harus dibersihkan. Namun, jika yang dimaksud adalah daun-daun kering yang berserakan di sepanjang jalur treking, hmmmm ... mungkin di situlah justru akan terjadi dialog informatif antara pemandu lokal dan tamu JED.

Satu hal yang pasti adalah standar manajemen ekowisata atau wisata ekologis desa memang perlu ditetapkan. Standar yang tidak hanya mengacu pada kode etik pariwisata dunia atau nasional, melainkan juga pada nilai budaya Bali. Hal ini bukan hanya ditujukan untuk 'kenyamanan' tamu, terlebih lagi sebagai alat membangun sistem pertahanan diri. Setiap masyarakat desa diwajibkan belajar tentang roh budaya Bali. Di samping ditujukan untuk berinteraksi dengan tamu dan bisa memberikan informasi sebenarnya, kegiatan ini akan menuntun setiap orang melakukan segala sesuatu dengan penuh pemahaman dan kesadaran.

Pada akhirnya, desa wisata ekologis bukanlah merupakan tujuan, melainkan sebagai model keutuhan ruang material dan spiritual Bali. Tujuan yang sesungguhnya adalah Bali Shanti, Bali yang damai. Bagaimana kemudian Bali mawa cara digunakan sebagai alat dan cara mempertahankan diri dari berbagai jenis 'banjir' yang mulai melanda Bali: banjir barang luar, banjir teknologi dan informasi, banjir investor ... jangan sampai "jagung diancak-ancak gelahe, siap len ane ngamah".

2010-07-07

Merencanakan Wisata Ekologis Bali Bersama Pak Gede Ardika

Senin, 5 Juli 2010
Kijang biru sudah tiba di Wisnu. Pak Gede Ardika keluar dari kursi kemudi, setelah 3 jam mengendarai sendiri dari Sudaji, Buleleng. Sebagai seorang Bapak, berbagai jenis rasa bakpia dibawa langsung dari Baturiti. So sweet ...

Diskusi tentang Bali pun dimulai. Ada Aji Arwata dan Turah Jayak, Pak Suar juga Denik dan Atiek, serta Bli Wayan yang datang jauh-jauh dari Bandung untuk ikut berdiskusi dan Mbak Dwi. Bali mempunyai sistem nilai budaya yang sangat dekat dengan alam dan kehidupan sosial, namun saat ini sebagian besar orang Bali tidak mengerti dan paham atas nilai dibalik 'ritual' yang dilakukan. Misalnya mandi telanjang di sungai. Ada nilai kejujuran dan penghormatan atas kepemilikan dibalik 'keterbukaan' dan gunjingan pinggir sungai.

Permasalahan kemudian muncul akibat ketidakpahaman. Terlebih lagi karena sebagian besar aturan di Bali tidak tertulis, melainkan berupa kesepakatan sebagai sebuah budaya yang terus dilakukan secara turun-temurun. Bahkan yang sudah tertulis pun tidak bisa dipahami dengan benar. Seperti yang terjadi pada koperasi dan LPD. Koperasi yang berbasis ekonomi pada dasarnya ditujukan untuk mensejahterakan keluarga anggota, bukan merupakan 'ilmu kerakusan'. Demikian halnya dengan LPD yang sebetulnya bertugas untuk mengamankan dan memperkuat budaya melalui ecos dan nomos, namun saat ini uang yang diperkuat. Atas ketidakpahaman, pencuri ide pun semakin banyak bermunculan. Berperan sebagai sinterklas, memberikan bantuan ke desa, namun berdampak pada rusaknya sistem sosial budaya masyarakat.

Maka, wisata ekologis desa dipilih sebagai alat untuk 'mengamankan' Bali. Orang-orang yang tergabung dalam asosiasi Bali DWE (Desa Wisata Ekologis) harus mampu menggali kearifan lokal dan melakukan interpretasi atasnya. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah sowan dan menjemput para orang tua bijaksana untuk ikut terlibat. Ilmu 'nyantrik' harus mulai dilakukan. Atau secara singkat dikatakan sebagai kegiatan 'integrated knowledge management'.

Sukma Bali DWE adalah memberikan nyawa atau jiwa pada ruang Bali. Seperti halnya sawen yang disimbolkan dengan pandan berduri dan pamor yang diikat dengan benang tridatu dengan sesari pis bolong. Duri pandan yang tajam merupakan simbol atas kebutuhan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat, juga bersih dan adil yang disimbolkan oleh pamor. Keputusan tersebut harus mampu memberikan hidup untuk banyak pihak yang disimbolkan dengan benang tridatu dan pis bolong. Tidak semua hasil bumi untuk dijual, namun sisihkan sebagian untuk menyamabraya. Berikan juga 'ongkos angkut' kepada orang yang ikut bekerja namun tidak mempunyai pohon, supaya orang itu juga ikut menjaga pohon sebagai sumber kehidupan.

Sistem nilai budaya ini yang harus diperkenalkan kepada mereka yang berkunjung. Sehingga orang yang datang tidak sekedar melihat atau meninggalkan jejak yang merusak. Nilai atas hidup akan mereka dapat ketika dan setelah berkunjung ke desa wisata ekologis. Namun, hal ini tidak bisa terjadi jika mereka yang hidup dan tinggal di dalam desa wisata ekologis tidak paham atas sistem nilai budaya yang mereka miliki. Maka, konsep atas Bali DWE ditujukan untuk memberikan nyawa atas ruang yang dihuni orang Bali dan dikunjungi orang luar.

Salah satu yang mudah untuk dilakukan adalah: menghargai dan makan makanan lokal yang sehat dan menumbuhkan jiwa. Mari kita melakukan segala hal dengan penuh kesadaran dan bisa memberikan nyawa ... hanya orang yang berhati penuh cinta yang bisa melakukannya. Sama seperti yang dikatakan para tim ahli yang terlibat dalam penyusunan rencana kelola ruang desa: mari membuat agenda bersama Bali berdasarkan desa pekraman.