2010-07-07

Merencanakan Wisata Ekologis Bali Bersama Pak Gede Ardika

Senin, 5 Juli 2010
Kijang biru sudah tiba di Wisnu. Pak Gede Ardika keluar dari kursi kemudi, setelah 3 jam mengendarai sendiri dari Sudaji, Buleleng. Sebagai seorang Bapak, berbagai jenis rasa bakpia dibawa langsung dari Baturiti. So sweet ...

Diskusi tentang Bali pun dimulai. Ada Aji Arwata dan Turah Jayak, Pak Suar juga Denik dan Atiek, serta Bli Wayan yang datang jauh-jauh dari Bandung untuk ikut berdiskusi dan Mbak Dwi. Bali mempunyai sistem nilai budaya yang sangat dekat dengan alam dan kehidupan sosial, namun saat ini sebagian besar orang Bali tidak mengerti dan paham atas nilai dibalik 'ritual' yang dilakukan. Misalnya mandi telanjang di sungai. Ada nilai kejujuran dan penghormatan atas kepemilikan dibalik 'keterbukaan' dan gunjingan pinggir sungai.

Permasalahan kemudian muncul akibat ketidakpahaman. Terlebih lagi karena sebagian besar aturan di Bali tidak tertulis, melainkan berupa kesepakatan sebagai sebuah budaya yang terus dilakukan secara turun-temurun. Bahkan yang sudah tertulis pun tidak bisa dipahami dengan benar. Seperti yang terjadi pada koperasi dan LPD. Koperasi yang berbasis ekonomi pada dasarnya ditujukan untuk mensejahterakan keluarga anggota, bukan merupakan 'ilmu kerakusan'. Demikian halnya dengan LPD yang sebetulnya bertugas untuk mengamankan dan memperkuat budaya melalui ecos dan nomos, namun saat ini uang yang diperkuat. Atas ketidakpahaman, pencuri ide pun semakin banyak bermunculan. Berperan sebagai sinterklas, memberikan bantuan ke desa, namun berdampak pada rusaknya sistem sosial budaya masyarakat.

Maka, wisata ekologis desa dipilih sebagai alat untuk 'mengamankan' Bali. Orang-orang yang tergabung dalam asosiasi Bali DWE (Desa Wisata Ekologis) harus mampu menggali kearifan lokal dan melakukan interpretasi atasnya. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah sowan dan menjemput para orang tua bijaksana untuk ikut terlibat. Ilmu 'nyantrik' harus mulai dilakukan. Atau secara singkat dikatakan sebagai kegiatan 'integrated knowledge management'.

Sukma Bali DWE adalah memberikan nyawa atau jiwa pada ruang Bali. Seperti halnya sawen yang disimbolkan dengan pandan berduri dan pamor yang diikat dengan benang tridatu dengan sesari pis bolong. Duri pandan yang tajam merupakan simbol atas kebutuhan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat, juga bersih dan adil yang disimbolkan oleh pamor. Keputusan tersebut harus mampu memberikan hidup untuk banyak pihak yang disimbolkan dengan benang tridatu dan pis bolong. Tidak semua hasil bumi untuk dijual, namun sisihkan sebagian untuk menyamabraya. Berikan juga 'ongkos angkut' kepada orang yang ikut bekerja namun tidak mempunyai pohon, supaya orang itu juga ikut menjaga pohon sebagai sumber kehidupan.

Sistem nilai budaya ini yang harus diperkenalkan kepada mereka yang berkunjung. Sehingga orang yang datang tidak sekedar melihat atau meninggalkan jejak yang merusak. Nilai atas hidup akan mereka dapat ketika dan setelah berkunjung ke desa wisata ekologis. Namun, hal ini tidak bisa terjadi jika mereka yang hidup dan tinggal di dalam desa wisata ekologis tidak paham atas sistem nilai budaya yang mereka miliki. Maka, konsep atas Bali DWE ditujukan untuk memberikan nyawa atas ruang yang dihuni orang Bali dan dikunjungi orang luar.

Salah satu yang mudah untuk dilakukan adalah: menghargai dan makan makanan lokal yang sehat dan menumbuhkan jiwa. Mari kita melakukan segala hal dengan penuh kesadaran dan bisa memberikan nyawa ... hanya orang yang berhati penuh cinta yang bisa melakukannya. Sama seperti yang dikatakan para tim ahli yang terlibat dalam penyusunan rencana kelola ruang desa: mari membuat agenda bersama Bali berdasarkan desa pekraman.

Tidak ada komentar: