2009-11-02

Keadilan dan Dampak Perubahan Iklim

Dampak perubahan iklim semakin nyata. Sebagai bagian untuk mengidentifikasi dan merencanakan aksi menghadapinya, ada dua kegiatan di Bali terkait hal tersebut. Kegiatan pertama terkait dengan hutan di Indonesia, kegiatan kedua melihat dampak di wilayah kepulauan dan pesisir.

Keadilan Iklim di Hutan Indonesia, Lovina-Bali, 13-15 Oktober 2009

Perubahan iklim pada dasarnya merupakan masalah keadilan untuk bertahan hidup dan kesetaraan, bukan sekedar tantangan atau ancaman terhadap lingkungan. Kebijakan tentang iklim merupakan komponen globalisasi yang lebih adil dan pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan. Kondisi yang terjadi saat ini adalah dalam diskusi tentang kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak melibatkan masyarakat miskin yang sebetulnya terkena dampak paling besar. Selain itu, pengetahuan lokal yang bisa digunakan untuk menghadapi dampak perubahan iklim tidak diakui baik di tingkat global maupun lokal.

Rowena dari Asia Forest Network memberikan pemaparan tentang beberapa hal. Salah satunya dikatakan bahwa proyek plantasi yang banyak dilakukan bukanlah merupakan penanaman hutan, melainkan merubah lahan hutan menjadi perkebunan, misalnya sawit. Hal tersebut mengakibatkan akses masyarakat lokal terhadap 'hutan' menjadi dibatasi hingga mengakibatkan kemiskinan. Perubahan iklim bisa dihadapi ketika kemiskinana berkurang, sehingga keadilan sangat dibutuhkan dalam menyikapi deforestasi dan perubahan iklim. Terkait REDD, keadilan iklim bisa dicapai jika memperhatikan HAM, konservasi alam, dan pasar.

Pada diskusi 'forest cafe' terungkap bahwa:
  • Dampak perubahan iklim yang dirasakan masyarakat adalah suhu meningkat, bencana banjir dan kekeringan, muncul berbagai jenis penyakit, permukaan air laut naik, terjadi pengunsian dan kelaparan akibat gagal panen, beberapa pulau kecil dan keanekaragaman hayati serta budaya lokal hilang, alih profesi masyarakat, konflik sumberdaya, dan generasi mendatang akan membayar mahal atas kondisi yang terjadi. Namun ada juga dampak positif yang ditimbulkan, yaitu muncul rasa memiliki terhadap bumi melalui kerjasama program, kebijakan pasar mengarah ke pembangunan berkelanjutan, dan teknologi inovasi ramah lingkungan lebih berkembang.
  • Kelompok miskin Indonesia sangat serius terkena dampak perubahan iklim, dapat diketahui melalui pola tanam yang tidak dapat lagi ditentukan yang berakibat gagal panen dan kelaparan, sumber air sulit dan asin, nilai budaya lokal hancur terutama akibat perkebunan, terjadi kriminalisasi karena akses terhadap sumberdaya semakin sulit sehingga pemenuhan kebutuhan hidup juga sulit, ditambah rentan terhadap penyakit serta bencana banjir dan longsor
  • Kelompok paling rentan terhadap perubahan iklim adalah masyarakat lokal di sekitar hutan akibat deforestasi, petani dan nelayan akibat perubahan pola tanam dan pola tangkap, juga perempuan terhadap akses air dan energi, serta anak-anak rentan terhadap penyakit dan menkonsumsi kualitas makanan yang rendah
  • Kelompok miskin menjadi sangat rentan terhadap perubahan iklim, dapat diketahui melalui rasa tidak aman terhadap kehidupan, penghidupan, pertanian, budaya, dan pemerintahan. Sehingga dibutuhkan pendidikan dan pendampingan terhadap masyarakat miskin, kebijakan yang dibuat melibatkan masyarakat miskin, juga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdayanya
  • Kelompok miskin pada dasarnya mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap perubahan iklim jika sumberdaya masih tersedia dan ada akses yang mudah, didukung oleh kebijakan yang mendukung kemandirian masyarakat, juga berpegang pada kearifan dan tanaman lokal, serta jaringan kerja dan usaha kredit bagi petani dan nelayan
  • Kondisi yang terjadi saat ini adalah masyarakat lokal kehilangan pengetahuan dan 'power' dalam mengelola sumberdaya alamnya, sehingga jika dikaitkan dengan REDD dana yang didapat akan diterima oleh kelompok yang tidak pernah berperan dalam pemeliharaan hutan
Bali menawarkan kegiatan yang bisa dilakukan dengan mudah oleh setiap orang dalam mengurangi karbon dioksida, yaitu melalui hening selama 4 jam. Kegiatan yang kemudian dinamakan World Silent Day tersebut diadopsi dari kearifan lokal Nyepi di Bali.

Hari kedua, melalui metode talkshow didiskusikan beberapa hal. Sebagai narasumber adalah WWF Indonesia, Departemen Kehutanan, AMAN Pusat, DNPI, Postdam Institute, dan Asia Forest Network.
  • REDD diharapkan bisa menjadi peluang untuk memperbaiki tata kelola hutan Indonesia, bukan membebaskan para pencemar lingkungan dari gaya hidup mereka melalui 'pembelian' karbon
  • Pengurangan emisi karbon harus bersifat berkelanjutan, bisa dimonitor, dilaporkan, dan diverifikasi. Emisi yang bisa 'dijual' harus diregistrasi di tingkat nasional
  • Kekayaan masyarakat adat berubah dari berkah menjadi musibah ketika negara lahir, terlebih lagi negara tersebut tidak mempunyai kepastian hukum
  • Hutan bukan toilet untuk karbon, melainkan sumber kehidupan masyarakat
  • Masalah REDD: ruang lingkup belum jelas, tidak akan ada 'market' tanpa 'demand', belum ada kesepakatan antara negara 'demand' dan 'supply' karbon
  • Karbon dikemas untuk diperjualbelikan oleh para ekonom sebagai cara mengurus perubahan iklim
  • Filipina yang hanya mempunyai 19% hutan melalui CSO sudah melakukan proses REDD, bukan melalui sektor swasta dan pemerintah, didukung oleh kebijakan bahwa masyarakat adat bisa mempunyai tanah adat
  • Persoalan hutan dalam konteks perubahan iklim bukan hanya masalah teknis dan legal, melainkan politis-ideologis-kekuasaan
Kemudian Rivani dari Cappa, Jambi menceritakan bahwa kebijakan kehutanan Indonesia masih mengeluarkan ijin yang mendukung deforestasi. Bahkan masyarakat dianggap 'hama' di areal konservasi sehingga menimbulkan konflik sosial. Pemerintah belum siap dengan isu REDD yang diartikan sebagai perdagangan karbon.

Informasi lain adalah tentang Global Deal: pasar karbon, kerjasama antara riset dan teknologi, pencegahan deforestasi, pembangunan, dan adaptasi untuk mencapai efektivitas, efisiensi, dan keseimbangan bagi semua pihak.

Lokakarya ditutup dengan melakukan analisis stakehorder dan rencana aksi di setiap region (Papua, Kalimantan, Sumatera, dan Nasional). Kegiatan lokakarya juga diisi dengan malam kebudayaan dan kunjungan lapangan ke Pemuteran. Lokakarya diselenggarakan oleh MISEREOR Jerman dan Wisnu sebagai penyelenggara. Diikuti oleh 50 peserta dari beberapa daerah di Indonesia, Filipina, dan Jerman.



Semiloka Adaptasi Perubahan Iklim di Kepulauan dan Pesisir, Sanur-Bali, 27-28 Oktober 2009

Kali ini ditujukan untuk masyarakat kepulauan dan pesisir, dihadiri sekitar 120 orang dari berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan hari pertama sampai sebelum makan siang berupa seminar. Doa bersama dipimpin Ratu Peranda Sebali Tianyar, dilanjutkan sambutan panitia serta pemutaran film Nyepi dan slideshow hasil riset Lembongan.
  1. Sambutan Bali sebagai tuan rumah oleh AA. Gede Alit Sastrawan
  2. Kebijakan DKP dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh Dr. Ir. Subandono, M.Eng sebagai keynote speaker
  3. Kepulauan dan pesisir dalam konteks posisi Indonesia di tengah perundingan global oleh Dr. Armi Susandi, MT dan Pengaruh perubahan iklim bagi pulau-pulau kecil oleh Juliana Jamlean dari Nen Mas Il, Tual-Maluku
  4. Perencanaan pembangunan dalam konteks mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh Rezal Kusumaatmadja dan Mengembangkan tata ruang berbasis penanggulangan bencana dan perubahan iklim oleh Bappeda


Berdasarkan hasil presentasi dan diskusi diketahui bahwa jika kondisi tetap seperti saat ini, pada tahun 2080 Nusa Dua akan terpisah dari Pulau Bali dan menjadi pulau sendiri. Ada 500 km2 lebih daerah pesisir Bali akan hilang. Sementara saat ini di Tual sudah muncul penyakit dan nyamuk berukuran besar di tengah lautan.

Setelah makan siang kegiatan dilanjutkan dengan lokakarya, diikuti lebih dari 50 orang, dilanjutkan sampai keesokan harinya. Hal paling menarik dari kegiatan ini adalah partisipasi yang sangat besar dari para peserta. Secara keseluruhan kegiatan didukung oleh Third World Network dengan dana yang terbatas. Kemudian CordAid jega berperan besar dalam pembiayaan transport dan akomodasi untuk 11 mitranya di Indonesia. Demikian juga Insist, Bina Swadaya Konsultan, Yayasan Rumsram di Biak, dan Care Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan RI juga sangat berperan dalam kegiatan ini dengan mendorong semua dinas-nya menghadiri seminar dan lokakarya.

Salah satu hasil lokakarya adalah Rangkuman Refleksi Peserta Semiloka yang memberikan rekomendasi sbb:
  • Melakukan diseminasi informasi untuk penyadaran masyarakat mengenai perubahan iklim dan dampaknya dengan memperhatikan pendekatan sesuai kondisi masyarakat sasaran, pemanfaatan potensi, dan peningkatan kapasitas untuk semua pihak
  • Melakukan mobilisasi masyarakat terkait ketahanan pangan dan lingkungan serta mengintensifkan globalisasi 'World Silent Day'
  • Melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim yang menyediakan ruang bagi masyarakat adat dan menerapkan pola hidup ramah lingkungan secara individual
  • Mendirikan pangkalan data tentang dampak perubahan iklim berdasarkan pengalaman di tingkat lokal
  • Melakukan riset mengenai dampak perubahan iklim
  • Melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar berbagai sektor dan negara dalam melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap dampak perubahan iklim