2009-12-17

Bali DWE: Launching "Harta Karun" Bali

"Kepariwisataan yang berkembang di Bali selama ini tidak ditujukan untuk masyarakat lokal serta tidak dibangun berdasarkan norma-norma lokal agama Hindu dan budaya Bali ... aset kepariwisataan bukanlah hotel, restoran, dan apartemen melainkan budaya Bali yang berbasis di desa dan sekaligus menjadi alat penangkal perubahan global yang terjadi."

Bapak I Gede Ardika, anggota komite Kode Etik UNWTO mengatakan hal tersebut di depan sekitar 200 orang ketika warna jingga langit mulai berubah gelap. Berdiri di teras depan kantor Wisnu, hari Selasa tanggal 15 Desember 2009. Bahwa kepariwisataan di Bali harus kembali pada pariwisata budaya, di mana turis yang datang adalah orang-orang berkualitas yang bisa menyerap dan memahami norma agama Hindu dan budaya Bali yang masih diterapkan di desa.

Kalimat tersebut dipertegas oleh Ratu Peranda Sebali Tianyar yang menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk pariwisata harus dikembangkan berdasarkan nilai spiritual untuk meningkatkan spiritualitas setiap orang. Beliau mengharapkan kesuksesan dan kemakmuran melalui mantra "Laksmi Puja". Mantra ditujukan untuk Dewi Laksmi sebagai ibu dari alam semesta, shakti Dewa Wisnu. Laksmi adalah dewi kekayaan/kesuburan, pengetahuan, kebahagiaan, keadilan, dan kebijaksanaan. Sebagai catatan, Dewi Laksmi akan memberikan 'anugerah' untuk orang-orang yang bekerja keras dan menyukai kebersihan.

Hal tersebut yang diharapkan untuk keberadaan Bali DWE, sebuah asosiasi untuk desa wisata ekologis di Bali. Satu mimpi yang dilatarbelakangi oleh kondisi kepariwisataan yang terjadi di Bali. Bahwa pariwisata masih merupakan komponen penting dalam pembangunan nasional, termasuk di Bali, namun disamping memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi, juga berkonsekuensi terhadap lingkungan dan budaya masyarakat Bali. Hal tersebut disebabkan karena perkembangannya masih mengarah ke pariwisata massal yang mengkomoditisasikan sumbedaya alam dan kultur masyarakat, serta dimiliki kelompok pemodal besar. Walaupun secara perlahan beralih ke pariwisata 'eco', justru kemudian memunculkan usaha berlabel 'eco' dan bermunculan lembaga assessor asing yang memberikan sertifikat 'eco'.

Kondisi tersebut mengharuskan masyarakat Bali untuk mulai memikirkan dan membangun mekanisme pertahanan diri dalam merawat keseimbangan Bali. Strategi pertahanan diri sudah dimiliki masyarakat Bali sejak dulu yang sampai saat ini masih kuat diimplementasikan di desa. Melalui nilai-nilai Tri Hita Karana dan Sad Kerthi (atmosfer, hutan, air, laut, manusia, dan wilayah), berbagai elemen seperti ekologi, budaya, spiritual, dan pelibatan masyarakat terjaga keseimbangannya.

Asosiasi Bali DWE (Desa Wisata Ekologis) akan menerapkan dan melanjutkan nilai-nilai tersebut sebagai upaya mempertahankan keseimbangan Bali dari kehancuran lingkungan dan nilai budaya akibat pariwisata. Bali DWE akan membentuk tatanan ruang kehidupan masyarakat pedesaan di Bali yang berkeadilan dan masyarakatnya mampu menyikapi perkembangan kepariwisataan agar memberi peningkatan kesejahteraan dan kelestarian budaya serta lingkungan.

Peresmian Bali DWE (baca: du-we yang artinya pemberian Tuhan sebagai milik bersama yang harus disakralkan) ditandai dengan penandatanganan di atas kanvas oleh para pendiri dan pendukung Bali DWE. Selain dihibur oleh Laras dan Binar yang menarikan Sekar Jempiring dan Gebyar Duduk, para hadirin dihibur juga oleh bondres Mang Pekak. Selain itu mereka juga memperoleh 'goody bag' berisi majalah Bali DWE, kalender World Silent Day, brosur Yayasan Wisnu-JED-Kapal Village Ecotourism, dan dupa.





Acara ditutup dengan makan malam bersama dengan menu spesial SoonaCekoo yang nantinya akan menjadi menu andalan di warung Beten Gatep. Warung berarsitektur bambu tersebut rencananya akan mulai beroperasi tanggal 25 Desember 2009.

2009-11-02

Keadilan dan Dampak Perubahan Iklim

Dampak perubahan iklim semakin nyata. Sebagai bagian untuk mengidentifikasi dan merencanakan aksi menghadapinya, ada dua kegiatan di Bali terkait hal tersebut. Kegiatan pertama terkait dengan hutan di Indonesia, kegiatan kedua melihat dampak di wilayah kepulauan dan pesisir.

Keadilan Iklim di Hutan Indonesia, Lovina-Bali, 13-15 Oktober 2009

Perubahan iklim pada dasarnya merupakan masalah keadilan untuk bertahan hidup dan kesetaraan, bukan sekedar tantangan atau ancaman terhadap lingkungan. Kebijakan tentang iklim merupakan komponen globalisasi yang lebih adil dan pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan. Kondisi yang terjadi saat ini adalah dalam diskusi tentang kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak melibatkan masyarakat miskin yang sebetulnya terkena dampak paling besar. Selain itu, pengetahuan lokal yang bisa digunakan untuk menghadapi dampak perubahan iklim tidak diakui baik di tingkat global maupun lokal.

Rowena dari Asia Forest Network memberikan pemaparan tentang beberapa hal. Salah satunya dikatakan bahwa proyek plantasi yang banyak dilakukan bukanlah merupakan penanaman hutan, melainkan merubah lahan hutan menjadi perkebunan, misalnya sawit. Hal tersebut mengakibatkan akses masyarakat lokal terhadap 'hutan' menjadi dibatasi hingga mengakibatkan kemiskinan. Perubahan iklim bisa dihadapi ketika kemiskinana berkurang, sehingga keadilan sangat dibutuhkan dalam menyikapi deforestasi dan perubahan iklim. Terkait REDD, keadilan iklim bisa dicapai jika memperhatikan HAM, konservasi alam, dan pasar.

Pada diskusi 'forest cafe' terungkap bahwa:
  • Dampak perubahan iklim yang dirasakan masyarakat adalah suhu meningkat, bencana banjir dan kekeringan, muncul berbagai jenis penyakit, permukaan air laut naik, terjadi pengunsian dan kelaparan akibat gagal panen, beberapa pulau kecil dan keanekaragaman hayati serta budaya lokal hilang, alih profesi masyarakat, konflik sumberdaya, dan generasi mendatang akan membayar mahal atas kondisi yang terjadi. Namun ada juga dampak positif yang ditimbulkan, yaitu muncul rasa memiliki terhadap bumi melalui kerjasama program, kebijakan pasar mengarah ke pembangunan berkelanjutan, dan teknologi inovasi ramah lingkungan lebih berkembang.
  • Kelompok miskin Indonesia sangat serius terkena dampak perubahan iklim, dapat diketahui melalui pola tanam yang tidak dapat lagi ditentukan yang berakibat gagal panen dan kelaparan, sumber air sulit dan asin, nilai budaya lokal hancur terutama akibat perkebunan, terjadi kriminalisasi karena akses terhadap sumberdaya semakin sulit sehingga pemenuhan kebutuhan hidup juga sulit, ditambah rentan terhadap penyakit serta bencana banjir dan longsor
  • Kelompok paling rentan terhadap perubahan iklim adalah masyarakat lokal di sekitar hutan akibat deforestasi, petani dan nelayan akibat perubahan pola tanam dan pola tangkap, juga perempuan terhadap akses air dan energi, serta anak-anak rentan terhadap penyakit dan menkonsumsi kualitas makanan yang rendah
  • Kelompok miskin menjadi sangat rentan terhadap perubahan iklim, dapat diketahui melalui rasa tidak aman terhadap kehidupan, penghidupan, pertanian, budaya, dan pemerintahan. Sehingga dibutuhkan pendidikan dan pendampingan terhadap masyarakat miskin, kebijakan yang dibuat melibatkan masyarakat miskin, juga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdayanya
  • Kelompok miskin pada dasarnya mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap perubahan iklim jika sumberdaya masih tersedia dan ada akses yang mudah, didukung oleh kebijakan yang mendukung kemandirian masyarakat, juga berpegang pada kearifan dan tanaman lokal, serta jaringan kerja dan usaha kredit bagi petani dan nelayan
  • Kondisi yang terjadi saat ini adalah masyarakat lokal kehilangan pengetahuan dan 'power' dalam mengelola sumberdaya alamnya, sehingga jika dikaitkan dengan REDD dana yang didapat akan diterima oleh kelompok yang tidak pernah berperan dalam pemeliharaan hutan
Bali menawarkan kegiatan yang bisa dilakukan dengan mudah oleh setiap orang dalam mengurangi karbon dioksida, yaitu melalui hening selama 4 jam. Kegiatan yang kemudian dinamakan World Silent Day tersebut diadopsi dari kearifan lokal Nyepi di Bali.

Hari kedua, melalui metode talkshow didiskusikan beberapa hal. Sebagai narasumber adalah WWF Indonesia, Departemen Kehutanan, AMAN Pusat, DNPI, Postdam Institute, dan Asia Forest Network.
  • REDD diharapkan bisa menjadi peluang untuk memperbaiki tata kelola hutan Indonesia, bukan membebaskan para pencemar lingkungan dari gaya hidup mereka melalui 'pembelian' karbon
  • Pengurangan emisi karbon harus bersifat berkelanjutan, bisa dimonitor, dilaporkan, dan diverifikasi. Emisi yang bisa 'dijual' harus diregistrasi di tingkat nasional
  • Kekayaan masyarakat adat berubah dari berkah menjadi musibah ketika negara lahir, terlebih lagi negara tersebut tidak mempunyai kepastian hukum
  • Hutan bukan toilet untuk karbon, melainkan sumber kehidupan masyarakat
  • Masalah REDD: ruang lingkup belum jelas, tidak akan ada 'market' tanpa 'demand', belum ada kesepakatan antara negara 'demand' dan 'supply' karbon
  • Karbon dikemas untuk diperjualbelikan oleh para ekonom sebagai cara mengurus perubahan iklim
  • Filipina yang hanya mempunyai 19% hutan melalui CSO sudah melakukan proses REDD, bukan melalui sektor swasta dan pemerintah, didukung oleh kebijakan bahwa masyarakat adat bisa mempunyai tanah adat
  • Persoalan hutan dalam konteks perubahan iklim bukan hanya masalah teknis dan legal, melainkan politis-ideologis-kekuasaan
Kemudian Rivani dari Cappa, Jambi menceritakan bahwa kebijakan kehutanan Indonesia masih mengeluarkan ijin yang mendukung deforestasi. Bahkan masyarakat dianggap 'hama' di areal konservasi sehingga menimbulkan konflik sosial. Pemerintah belum siap dengan isu REDD yang diartikan sebagai perdagangan karbon.

Informasi lain adalah tentang Global Deal: pasar karbon, kerjasama antara riset dan teknologi, pencegahan deforestasi, pembangunan, dan adaptasi untuk mencapai efektivitas, efisiensi, dan keseimbangan bagi semua pihak.

Lokakarya ditutup dengan melakukan analisis stakehorder dan rencana aksi di setiap region (Papua, Kalimantan, Sumatera, dan Nasional). Kegiatan lokakarya juga diisi dengan malam kebudayaan dan kunjungan lapangan ke Pemuteran. Lokakarya diselenggarakan oleh MISEREOR Jerman dan Wisnu sebagai penyelenggara. Diikuti oleh 50 peserta dari beberapa daerah di Indonesia, Filipina, dan Jerman.



Semiloka Adaptasi Perubahan Iklim di Kepulauan dan Pesisir, Sanur-Bali, 27-28 Oktober 2009

Kali ini ditujukan untuk masyarakat kepulauan dan pesisir, dihadiri sekitar 120 orang dari berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan hari pertama sampai sebelum makan siang berupa seminar. Doa bersama dipimpin Ratu Peranda Sebali Tianyar, dilanjutkan sambutan panitia serta pemutaran film Nyepi dan slideshow hasil riset Lembongan.
  1. Sambutan Bali sebagai tuan rumah oleh AA. Gede Alit Sastrawan
  2. Kebijakan DKP dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh Dr. Ir. Subandono, M.Eng sebagai keynote speaker
  3. Kepulauan dan pesisir dalam konteks posisi Indonesia di tengah perundingan global oleh Dr. Armi Susandi, MT dan Pengaruh perubahan iklim bagi pulau-pulau kecil oleh Juliana Jamlean dari Nen Mas Il, Tual-Maluku
  4. Perencanaan pembangunan dalam konteks mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh Rezal Kusumaatmadja dan Mengembangkan tata ruang berbasis penanggulangan bencana dan perubahan iklim oleh Bappeda


Berdasarkan hasil presentasi dan diskusi diketahui bahwa jika kondisi tetap seperti saat ini, pada tahun 2080 Nusa Dua akan terpisah dari Pulau Bali dan menjadi pulau sendiri. Ada 500 km2 lebih daerah pesisir Bali akan hilang. Sementara saat ini di Tual sudah muncul penyakit dan nyamuk berukuran besar di tengah lautan.

Setelah makan siang kegiatan dilanjutkan dengan lokakarya, diikuti lebih dari 50 orang, dilanjutkan sampai keesokan harinya. Hal paling menarik dari kegiatan ini adalah partisipasi yang sangat besar dari para peserta. Secara keseluruhan kegiatan didukung oleh Third World Network dengan dana yang terbatas. Kemudian CordAid jega berperan besar dalam pembiayaan transport dan akomodasi untuk 11 mitranya di Indonesia. Demikian juga Insist, Bina Swadaya Konsultan, Yayasan Rumsram di Biak, dan Care Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan RI juga sangat berperan dalam kegiatan ini dengan mendorong semua dinas-nya menghadiri seminar dan lokakarya.

Salah satu hasil lokakarya adalah Rangkuman Refleksi Peserta Semiloka yang memberikan rekomendasi sbb:
  • Melakukan diseminasi informasi untuk penyadaran masyarakat mengenai perubahan iklim dan dampaknya dengan memperhatikan pendekatan sesuai kondisi masyarakat sasaran, pemanfaatan potensi, dan peningkatan kapasitas untuk semua pihak
  • Melakukan mobilisasi masyarakat terkait ketahanan pangan dan lingkungan serta mengintensifkan globalisasi 'World Silent Day'
  • Melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim yang menyediakan ruang bagi masyarakat adat dan menerapkan pola hidup ramah lingkungan secara individual
  • Mendirikan pangkalan data tentang dampak perubahan iklim berdasarkan pengalaman di tingkat lokal
  • Melakukan riset mengenai dampak perubahan iklim
  • Melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar berbagai sektor dan negara dalam melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap dampak perubahan iklim


2009-08-18

Merah Putih Merdeka

Merayakan 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia yang ke-64. Kali ini diprakarsai oleh anak-anak yang pernah mengikuti acara Fun Sunday dan Melali ajak Pan Godogan. Xena sebagai koordinator, dibantu Ega, Budi, Agus, Binar, Iluh, Regina, Gek Indi, dan Ade Rai. Orang tua bertugas mengatur dekorasi dan menyiapkan makanan.

Pan Go ke mana ya? Tidak ada kabar berita ... Ega juga tidak datang, padahal sejak acara ini direncanakan Ega selalu aktif. Rencananya mau mementaskan tari baris dan baca puisi. Acara tetap dimulai sesuai rencana, jam 6 lewat 30 menit. Matahari sudah mulai terbenam, merah putih dalam berbagai bentuk di tengah langit gelap jingga. Acara dibuka oleh Xena dan mbok Diah. Bertugas sebagai tuan rumah Pak Suar, sekaligus mengajak para peserta menyanyikan Indonesia Raya 3 stanza.

Indonesia tanah yang suci
Tanah kita yang sakti
Di sanalah aku berdiri
Menjaga ibu sejati ...

Xena, dalam pidatonya juga mengatakan bahwa bangsa yang kaya adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Ia merasa miris ketika mengetahui bahwa kesejarahan Indonesia dipotong 'dari 3 bait menjadi 1 bait'. Artinya, ada kesejarahan Indonesia yang tidak diceritakan, atau mungkin sengaja dihilangkan. Dikatakan juga bahwa kita harus bangga menjadi orang Indonesia, salah satunya dengan cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Selesai 'upacara', makan kudapan dulu sebelum pentas dan menikmatinya. Jus jambu, jus wortel+tomat, teh hangat, kacang rebus, jagung manis, gorengan, singkong keju, puding ... tidak ada yang tersisa. Terima kasih untuk ibu bapak yang sudah membawa dan membuatkan makanan ringan, untuk pengganjal sebelum makan malam.

Pentas ekspresi anak! Wow ... hebat sekali:
- Tari Puspanjali, ditarikan anak-anak Pengubengan - Iluh, Resti
- Laras menarikan tari Tenun
- Sekar Tunjung yang diciptakan Binar ditarikan Luhtu, Regina, dan Gek Indi
- Binar menari Kebyar Duduk
- Amanda menyanyi Hari Merdeka diiringi kakaknya, Dimas
- Dimas memainkan lagu Bendera dan Superman dengan drum
- Agus membacakan puisi Merah Putih
- Kakak beradik Gadis dan Diah masing-masing menyanyikan 2 lagu
- Gus Wid bermain sulap, ditutup dengan tulisan 'sekian dan terimakasih'





Makan malam ... nasi putih, plecing kangkung, tempe tahu goreng, ikan dan udang bakar, ayam betutu. Senangnya, hanya tersisa sepiring nasi! Terima kasih juga untuk orang tua dan kakak-kakak yang sudah menyiapkan makan malam. Semua bertugas sesuai kesepakatan.


Sebelum pulang ... selamat ulang tahun untuk mereka yang lahir di bulan Agustus: Xena, Budi, Levito, Galang, Amanda, Angga, Maharani, Luh Widianingsih. Ada hadiah pohon yang harus ditanam dan dirawat, sebagai wujud rasa cinta terhadap bumi. Jambu biji, jambu air, jeruk nipis, jeruk limau, belimbing manis, belimbing wuluh, dan kedondong. Sepuluh anak yang berulang tahun di bulan Agustus. Masih dua pohon yang tersisa karena tidak bisa hadir dan tidak ada yang mewakili: Janis dan Madani.


Dirgahayu Indonesia ... kami akan mencintaimu salah satunya dengan tidak menebang pohon.
Terima kasih untuk semua yang sudah mendukung dan berpartisipasi dalam MERAH PUTIH MERDEKA!!!

2009-07-31

Tiga Kegiatan "Masa Depan" di Bulan Juli

Masa depan menanti ...

24 Juli 2009 - Fasilitasi Pelatihan Ekowisata untuk Wakatobi
Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko. Empat pulau di Sulawesi Tenggara. Sekelompok masyarakat yang ada di empat pulau tersebut sepakat untuk mengembangkan ekowisata di daerahnya masing-masing ... bukan sekedar menjadi pemandu wisata. Pelatihan dilakukan di kantor Taman Nasional Bali Barat, diikuti 20 orang dari keempat pulau dan 5 orang dari Taman Nasional di Wakatobi. Tanggal 26-nya mereka mengunjungi Nusa Ceningan untuk melihat ekowisata yang dikembangkan di sana.

29 Juli 2009 - Pertemuan Informal Ekowisata
Membuat standar sendiri ... mengapa tidak? Bali harus mempunyai standar wisata eko yang berdasarkan nilai lokal. Kultur dan ekologi menjadi satu hal yang sangat penting, bukan hanya fisik. Pak Gede Ardika sangat mendukung dan mempunyai pemikiran yang sama tentang hal itu. Pemuteran memberikan energi untuk mewujudkan hal tersebut.

30 Juli 2009 - Rembug RTRWP Masyarakat Sipil
Keruangan Bali harus dijaga bersama, salah satunya melalui pembuatan RTRWP yang mengakomodir kebutuhan masyarakat yang selama ini termarjinalkan. Sistem nilai dalam kultur yang selama ini hidup namun kadang dilupakan, harus dijadikan roh yang menghidupi RTRWP. Belajar dari Tenganan Pegringsingan, yang keberadaannya sudah ada sejak 1000 tahun lalu. Salah satu awig yang harus ditaati, "... tidak boleh barang siapapun orang desa itu menggadaikan atau menjual sawah, tegalan, pekarangan ..."

2009-07-10

Jadi Koki Cilik

Lagi-lagi ... Fun Sun_Day. Kali ini di hari Kamis, 9 Juli 2009.
Pesertanya: Gadis, Diah, Luhtu, Binar, Kadek, Anggi, Amanda, Dimas, Yoni, Ega, Agus, Budi, Ade Rai, dan Vianna ... dari TK sampai SMP.

Olahraga dulu sebelum mulai menjadi koki, supaya segar dan ototnya lentur. Setelah itu, memilih menu. Ada 3 menu yang ditawarkan, yaitu paket sayur sup, paket gado-gado, dan paket plecing kangkung. Ternyata ada 7 anak yang memilih paket plecing kangkung. Maka semua sepakat untuk memasak plecing kangkung, ayam goreng, tempe tepung goreng, nasi putih, dan es buah. Peserta dibagi 4 kelompok: kelompok kangkung, ayam, nasi, dan buah.

Siap-siap ke pasar untuk membeli semua bahan, ke pasar Taman Sari di Kerobokan. Sebelum ke pasar, peserta berdiskusi dulu:
  1. Mengapa kita belajar memasak? Jawabannya adalah: supaya bisa mandiri, bisa masak sendiri, supaya makanan yang dimasak sehat, supaya bisa menghargai orang yang memasak (ibu, nenek, pembantu ... ternyata yang biasa memasak adalah perempuan)
  2. Makanan seperti apa yang sehat? Jawabannya: yang tidak mengandung pengawet, tidak mengandung pewarna, tidak pakai mecin, tidak disuntik ... dan mereka sepakat untuk mengurangi makan ayam goreng "kentucky" karena ayamnya disuntik, "McD" karena termasuk junk food atau makanan sampah, dan "cicki2an" karena banyak MSG
Tiap kelompok dibagi 2 kantung plastik untuk membawa hasil belanjaan, supaya jumlah plastik dari pasar bisa dikurangi. Tugas tiap kelompok adalah berbelanja sesuai kebutuhan kelompoknya. Misal kelompok kangkung harus membeli kangkung, lombok, tomat, dan bawang marah-bawang putih. Mereka juga harus menawar untuk barang yang akan dibeli. Kelompok ayam yang paling jago menawar ... dari 45 ribu bisa menjadi 40 ribu per ekor.



Selanjutnya ... memasak, lagi-lagi sesuai kelompoknya. Hebat! Tidak ada satu anakpun yang terluka karena pisau ... semua aman terkendali. Semua saling bantu, sehingga bisa selesai tepat sebelum jam makan siang.





Kelompok yang paling cepat selesai adalah kelompok buah. Jadi, sebelum makan siang bersama dimulai karena menunggu nasi matang, es buah sudah habis! Dan ketika nasinya matang, semua makan banyak. Makan ... makan ... semua habis tak tersisa. Hari ini sudah makan sehat: nasi, sayur, lauk, dan es buah yang manis. Nyam!!!





Terakhir, seperti biasa ... menggambar dan menceritakan pengalaman hari ini, juga membagi sertifikat. Klik, klik! Foto bersama tiap kelompok. Setelah itu ... main petak umpet!





Catatan menarik:
  1. Amanda sudah membawa resep membuat spagheti, sayur asem, dan sambel (dan membuat sendiri sambel ala Amanda)
  2. Vianna sering memasak pasta di rumahnya
  3. Luhtu dan Binar punya hobi memasak
  4. Yoni sudah berlatih memotong tomat di rumah
  5. Budi dan Pan Go punya hobi yang sama: makan