2009-12-17

Bali DWE: Launching "Harta Karun" Bali

"Kepariwisataan yang berkembang di Bali selama ini tidak ditujukan untuk masyarakat lokal serta tidak dibangun berdasarkan norma-norma lokal agama Hindu dan budaya Bali ... aset kepariwisataan bukanlah hotel, restoran, dan apartemen melainkan budaya Bali yang berbasis di desa dan sekaligus menjadi alat penangkal perubahan global yang terjadi."

Bapak I Gede Ardika, anggota komite Kode Etik UNWTO mengatakan hal tersebut di depan sekitar 200 orang ketika warna jingga langit mulai berubah gelap. Berdiri di teras depan kantor Wisnu, hari Selasa tanggal 15 Desember 2009. Bahwa kepariwisataan di Bali harus kembali pada pariwisata budaya, di mana turis yang datang adalah orang-orang berkualitas yang bisa menyerap dan memahami norma agama Hindu dan budaya Bali yang masih diterapkan di desa.

Kalimat tersebut dipertegas oleh Ratu Peranda Sebali Tianyar yang menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk pariwisata harus dikembangkan berdasarkan nilai spiritual untuk meningkatkan spiritualitas setiap orang. Beliau mengharapkan kesuksesan dan kemakmuran melalui mantra "Laksmi Puja". Mantra ditujukan untuk Dewi Laksmi sebagai ibu dari alam semesta, shakti Dewa Wisnu. Laksmi adalah dewi kekayaan/kesuburan, pengetahuan, kebahagiaan, keadilan, dan kebijaksanaan. Sebagai catatan, Dewi Laksmi akan memberikan 'anugerah' untuk orang-orang yang bekerja keras dan menyukai kebersihan.

Hal tersebut yang diharapkan untuk keberadaan Bali DWE, sebuah asosiasi untuk desa wisata ekologis di Bali. Satu mimpi yang dilatarbelakangi oleh kondisi kepariwisataan yang terjadi di Bali. Bahwa pariwisata masih merupakan komponen penting dalam pembangunan nasional, termasuk di Bali, namun disamping memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi, juga berkonsekuensi terhadap lingkungan dan budaya masyarakat Bali. Hal tersebut disebabkan karena perkembangannya masih mengarah ke pariwisata massal yang mengkomoditisasikan sumbedaya alam dan kultur masyarakat, serta dimiliki kelompok pemodal besar. Walaupun secara perlahan beralih ke pariwisata 'eco', justru kemudian memunculkan usaha berlabel 'eco' dan bermunculan lembaga assessor asing yang memberikan sertifikat 'eco'.

Kondisi tersebut mengharuskan masyarakat Bali untuk mulai memikirkan dan membangun mekanisme pertahanan diri dalam merawat keseimbangan Bali. Strategi pertahanan diri sudah dimiliki masyarakat Bali sejak dulu yang sampai saat ini masih kuat diimplementasikan di desa. Melalui nilai-nilai Tri Hita Karana dan Sad Kerthi (atmosfer, hutan, air, laut, manusia, dan wilayah), berbagai elemen seperti ekologi, budaya, spiritual, dan pelibatan masyarakat terjaga keseimbangannya.

Asosiasi Bali DWE (Desa Wisata Ekologis) akan menerapkan dan melanjutkan nilai-nilai tersebut sebagai upaya mempertahankan keseimbangan Bali dari kehancuran lingkungan dan nilai budaya akibat pariwisata. Bali DWE akan membentuk tatanan ruang kehidupan masyarakat pedesaan di Bali yang berkeadilan dan masyarakatnya mampu menyikapi perkembangan kepariwisataan agar memberi peningkatan kesejahteraan dan kelestarian budaya serta lingkungan.

Peresmian Bali DWE (baca: du-we yang artinya pemberian Tuhan sebagai milik bersama yang harus disakralkan) ditandai dengan penandatanganan di atas kanvas oleh para pendiri dan pendukung Bali DWE. Selain dihibur oleh Laras dan Binar yang menarikan Sekar Jempiring dan Gebyar Duduk, para hadirin dihibur juga oleh bondres Mang Pekak. Selain itu mereka juga memperoleh 'goody bag' berisi majalah Bali DWE, kalender World Silent Day, brosur Yayasan Wisnu-JED-Kapal Village Ecotourism, dan dupa.





Acara ditutup dengan makan malam bersama dengan menu spesial SoonaCekoo yang nantinya akan menjadi menu andalan di warung Beten Gatep. Warung berarsitektur bambu tersebut rencananya akan mulai beroperasi tanggal 25 Desember 2009.