Kondisi tersebut disampaikan oleh para peserta diskusi terfokus tentang "Adaptasi Perubahan Iklim", pada 22 September 2011 di Yayasan Wisnu. Diskusi diselenggarakan oleh The Samdhana Institute dan Stockholm Environment Institute. Peserta terdiri dari beberapa komponen, yaitu pemerintah daerah, akademisi, masyarakat adat, dan LSM.
Fakta yang mendukung kondisi di atas semakin parah adalah, luasan bumi tetap namun jumlah penduduk semakin bertambah, saat ini mendekati angka 6 milyar. Khusus Bali, ada 4 juta orang yang tinggal di atasnya, padahal kapasitas daya tampung dan daya dukung optimal hanya untuk 1,5 juta orang. Kehidupan setiap individu kemudian bersifat ambigu, hanya berteori tanpa dipraktekkan. Contohnya, Wisnu selalu berbicara untuk mengurangi sampah plastik, tapi salah satu kudapan yang disajikan memakai plastik. Hehe ... Padahal hidup yang benar berdasarkan ajaran Bali haruslah ngeret indria, bukan ngulurin indria seperti banyak dilakukan saat ini.

Pembicaraan di tingkat provinsi seperti diceritakan di atas kemudian dilanjutkan ke tingkat desa. Desa yang dipilih adalah Kiadan Pelaga di Petang, Badung. Pilihan didasarkan pada kebutuhan untuk melihat dampak perubahan iklim yang sudah dirasakan oleh anggota subak abian. Sebagai informasi, Kiadan Pelaga merupakan desa penghasil kopi yang petaninya tergabung dalam Subak Abian Sari Boga. Diskusi ini dilakukan pada 24 September 2011.
Sedikit berbeda dengan pembicaraan tingkat provinsi yang bersifat umum, peserta diskusi terfokus kelompok subak lebih menceritakan secara detil hal-hal yang sudah dirasakan. Sudah dua kali para petani kopi gagal panen karena curah hujan yang tinggi dan berkepanjangan sehingga menggugurkan bunga kopi. Dan, jika kemarau, panas matahari sangat terik sehingga melayukan bunga kopi. Para petani pada akhirnya harus mencari kerja sampingan sebagai buruh bangunan, sampai ke luar desa. Bagi yang tidak bisa, harus mengurangi pengeluaran untuk konsumsi harian.
Walaupun demikian, para petani tetap melakukan upaya untuk tetap bisa bertahan di tengah ketidakjelasan cuaca, baik secara niskala maupun sekala. Ritual upacara memohon keselamatan tanaman tetap dilakukan, mulai dari nyaap (sebelum menanam), peneduhan (setelah tanaman tumbuh), nglamping aturin (setelah panen), ngusaba, dan nangsil yang dilakukan dua tahun sekali. Sementara, secara sekala di antaranya melalui reboisasi hutan, penanaman berbagai jenis tanaman bambu, dan mengembangkan jasa lingkungan melalui ekowisata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar