2009-05-20

Antara 33 dan 15

33


Sejak jaman dulu kala, angka ini telah biasa diterima bila mendengar sate panca sanak, karena jumlah tersebut merupakan jumlah total urip panca wara, umanis, paing, pon, wage, kliwon dengan urip masing-masing: 5, 9,7 4,8 sehingga jumlah total katiknya 33 suatu perhitungan yang sudah lumbrah dalam perhitungan wariga di Bali.

Angka ini mampu menyentak dan menjadi polemik setelah dijadikan angka tawaran tinggi bangunan yang diusulkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali yang mana sebelumnya ketinggian bangunan yang disepkati maksimal 15 mete r atau setinggi pohon kelapa.


Berkembanglah angka 33 menjadi angka yang ditafsir dan dinterpretasikan ada muatan kepentingan walaupun pencetusnya berani bersumpah itu usulan pribadi dan murni untuk menhindari pertambahan perubahan lahan pertanian. Maka bangunan seperti rumah sakit, kantor, sekolah, universitas, pasar, pusat perbelanjaan dan hotel bintang empat ke atas diusulkan boleh mendapat ijin tinggi bangunan setinggi 33 meter. Diusulkan lagi bangunan seperti menara pemancar, tiang listrik tegangan tinggi, mercu suar, menara-menara bangunan keagamaan, menara keselamatan penerbangan dan bangunan pertahanan keamanan juga diijinkan.


Dilihat dari perspektif hak warga negara yang dalam hal ini kebetulan percetusnya adalah warga Bali yang beragama Hindu, warga tersebut haknya dilindungi undang-undang yang setiap warga negara mempunyai hak mengeluarkan pendapat. Demikian juga dengan warga lainnya yang mempunyai hak mengemukakan pendapat untuk menolak gagasan tersebut tanpa dibarengi sikap benci pada pencetus gagasan tersebut.


Coba bayangkan bila yang mengeluarkan pendapat tersebut bukan orang Bali yang beragama Hindu yang sudah menjadi penduduk Bali dengan pertimbangan mereka juga memiliki hak atas ruang Bali atau orang asing yang sudah punya KITAS dan berniat menjadi warga negara Indonesia namun memilih tinggal di Bali? Sudah bisa ditebak, sudah pasti tanpa argumen yang cerdas, data pendukung yang valid dan kuat, mereka sudah dicap bahwa mereka itu ingin menghancurkan Bali.


Benarkah yang menghancurkan Bali adalah pihak luar? Atau pesan apa yang sebenarnya kita sebagai penghuni Pulau Bali ini harus lihat dibalik lontaran spontan tersebut, tanpa memperdulikan angka 33 itu keluar dari orang Bali atau bukan?


Dari sini tersirat ada kesan romantis bahwa, ya betul, pada masa kecil kita pernah mengalami suasana hidup di pulau ini yang relatif indah dan kehidupan penduduknya masih pola kehidupan yang mempertimbangkan keseimbangan. Pola ngayah dan mencari nafkah masih relatif ada keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Bentang alam persawahan masih menghijau dan kepemilikan masih dominan dipegang oleh masyarakat lokal. Rasa aman, nyaman, penyamabryaan masih dirasakan menjiwai pola hubungan kemasyarakatan yang ada.


Mana kala rasa aman dan nyaman terusik dan masyarakat cenderung memikirkan dirinya sendiri ditambah kedatangan para pendatang, investor maupun orang asing, yang paa dirir mereka tidak melekat kewajiban menjaga kultur, keruangan hidup di Pulau Bali ini menjadi ruang kompetisi disegala bidang dan tingkatan. Orang lokal mulai harus berpacu dengan waktu, berkompetisi peluang pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhan pokok untuk hidup. Ada kekuwatiran kalah bersaing, tidak aman dan nyaman yang pada akhirnya perlahan-lahan merubah temperamen orang Bali yang terkenal toleran menjadi sensitif dengan penuh kecurigaan. Tanpa mengkritisi dengan fleksibilitas daya pikir desa, kala dan patra bahwa waktu seperti sekarang ini dan keadaan seperti ini, apa saja data dan fakta yang harus dilihat untuk dijadikan pertimbangan sehingga terjadi keseimbangan baru dalam konteks kekinian Bali.


15


Acuan angka ini jelas yaitu setinggi pohon kelapa. Kenapa pohon kelapa? Karena pohon kelapa sudah menjadi ikon yang melekat pada daerah tropis, pulau kecil dan pantai pasir putih. Hal tersebut merupakan hal eksotis yang rindu untuk dikunjungi oleh para pelancong dari belahan dunia Barat. Bali memiliki itu semua, sehingga sangat layak untuk menjadi sebuah destinasi berwisata.


Bali unik dengan budayanya yang adiluhung. Kelapa merupakan komponen budaya Bali yang sangat signifikan. Apalagi dalam sistem kepercayaan kita kelapa menyimbulkan Betara Siwa. Memberikan rasa hormat ciptaan Yang Maha Kuasa, yaitu pohon kelapa tanpa menghalangi haknya atas sinar surya adalah suatu sikap yang sangat arif. Memberikan hak azasi pada pohon pada tanaman (kelapa sebagai wakil) adalah suatu pola pikir yang sangat jauh kedepan. Hal ini menjadi salah satu dari relasi dalam Tri Hita Karana yaitu hubungan yang selaras antara manusia dan lingkungan. Filosofi ini menjadi indentitas Bali dan mengatur bangunan setara pohon kelapa juga automatis menjadi identitas Bali. Pesannya mungkin seperti ini: “Hai manusia, Janganlah terlalu serakah dan sombong, langitpun mau dicakar.”. Mudah-mudahan manusia mampu mengendalikan keserakahannya.


Kecendrungan perkembangan dunia ke depan, back to nature akibat dahsyatnya kerusakan lingkungan akibat sombongnya ulah manusia atas alam lingkungan membawa Negara seperti Francis menambah konstitusinya dengan mengadposi pelestarian lingkungan kedalam undang-undangnya bahkan Costa Rica menjabarkan lebih banyak dalam undang-undang negaranya. Mereka menyadari hak azasi lingkungan dimasa depan akan menjadi hal yang sangat patut diperjuangkan sebagaiman perjuangan pendeklarasian Hak Azasi Manusia. Leluhur kita di Bali, telah banyak mewarisi kita akan kearifan respek terhadap alam antara lain, tumpek uduh, sad kertih, subak, segara gunung dan masih banyak pesan arif yang lainnya.


33 ?


Dalam berlangsungnya pembahasan RTRWP Bali angka 33 menjadi kontroversial karena dikuti dengan permintaan agar tinngi bangunan seperti rumah sakit, kantor, sekolah, universitas, pasar, pusat perbelanjaan dan hotel bintang empat ke atas diusulkan boleh mendapat ijin tinggi bangunan setinggi 33 meter. Diusulkan lagi bangunan seperti menara pemancar, tiang listrik tegangan tinggi, mercu suar, menara-menara bangunan keagamaan, menara keselamatan penerbangan dan bangunan pertahanan keamanan juga diijinkan.


Saya melihat usulan angka 33 ini lebih pada cara berpikir urban-sentralistik/metropolis karena kalau kita melihat keruangan Bali apapun usulan yang ditawarkan haruslah berbasis data pendukung dan analisis data yang kuat. Kenapa saya mengatakan cara berpikir urban karena secara logikanya perkembangan kota yang pesat akan memangsa daerah-daerah bentang alam di sekitarnya. Akan tetapi kalau logikanya di balik dan data penunjangnya ada, bila Denpasar sudah melewati ambang batas kenapa keputusan penataan raungnya tidak melakukan moratorium pembangunan di Denpasar namun meratakan ke kabupaten lainnya di Bali dengan kualitas layanan yang sama dengan Denpasar. Baik itu untuk sekolah, pasar, universitas, rumah sakit dll. Pengembangan Rumah sakit dapat juga dibantu dengan pembangunan puskesmas yang layananannya sama handalnya dengan rumah sakit lainnya. Selain mencegah urbanisasi, pelayanan publik di dekatkan ke masyarakat dengan standar kualitas yang lebih baik. Bila cara pikirnya dirubah seperti itu apakah masih butuh ketinggian bangunan 33 meter dengan segala konsekuensinya yang sangat mahal?


Trend pertambahan penduduk 20 tahun ke depan tentu meningkat. Pertambahan penduduk lokal kurang lebih 1%, pendatang sekitar 5%, wisatawan anggaplah 2%. Yang mana yang seharusnya di atur agar penggunaan ruang di Bali lebih irit. Akomodasi kepariwisataan juga dilihat kemungkinannya pe kabupaten. Bila pengaturan ini ditempuh apakah masih kita butuh angka 33?


Begitu juga dengan rencana mengorganikan Bali dan menetukan wilayah sawah abadi. Dan bila kebijakan pertanian kita di rubah agar pertanian mampu memberikan nilai tambah yang lebih sehingga menjadi pendapatan yang layak bagi petani dan membangun martabat petani sehingga kesehatan petani dan penduduk meningkat, apakah kita masih perlu rumah sakit setinggi 33 meter?


Kembali ke 15


Ketinggian banguna 15 meter setinggi pohon kelapa di RTRWP Bali layak dipertahankan sebagai identitas keeksotikan ruang dan kultural Bali.


1 komentar:

Sastrawan Bali mengatakan...

Om Swastiastu,
Salam kenal,

mohon cek:
www.muda-mudisubakbali.blogspot.com

juga facebook id:
Sastra Bali
dan Group nya: muda-mudi Subak Bali

Terima kasih,
sastrabali@hotmail.com
081 5588 12345