Tampilkan postingan dengan label Informasi - Penelitian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Informasi - Penelitian. Tampilkan semua postingan

2011-10-10

Beradaptasi terhadap Perubahan Iklim

Saat ini, sekitar 40% lahan pertanian di Bali mengalami kekeringan. Hal itu terjadi akibat panas yang berkepanjangan, diperkirakan akibat perubahan iklim. Bukan hanya itu, tinggi muka air bendungan juga sudah mengalami penurunan, contohnya di bendungan Palasari. Akibat lanjutannya adalah, lahan kritis semakin luas dan petani mengalami gagal panen yang berdampak pada penurunan pendapatan ekonomi.

Kondisi tersebut disampaikan oleh para peserta diskusi terfokus tentang "Adaptasi Perubahan Iklim", pada 22 September 2011 di Yayasan Wisnu. Diskusi diselenggarakan oleh The Samdhana Institute dan Stockholm Environment Institute. Peserta terdiri dari beberapa komponen, yaitu pemerintah daerah, akademisi, masyarakat adat, dan LSM.

Terkait dengan perubahan iklim, ada beberapa, bahkan banyak hal yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak, terutama pemerintah daerah seperti Dinas Kehutanan dan BLH. Namun kemudian dikritisi bahwa kebijakan yang dikeluarkan belum diimplementasi secara sesuai dan belum menjawab permasalahan dan kekhawatiran yang ada. Negara banyak membuat aturan, namun juga melanggar aturan yang dibuat. Ditambah lagi, tidak ada pihak yang mengatur pelaksanaan peraturan tersebut sehingga kehidupan saat ini menjadi tidak teratur. Contohnya, berdasarkan hasil kajian, Bali sudah kelebihan 9800 kamar hotel. Namun hal tersebut hanya sebatas kajian, sehingga perebutan atas sumberdaya lahan, air, dan energi tetap terjadi bahkan semakin parah. Sampah juga semakin menumpuk tanpa pengelolaan yang baik.

Fakta yang mendukung kondisi di atas semakin parah adalah, luasan bumi tetap namun jumlah penduduk semakin bertambah, saat ini mendekati angka 6 milyar. Khusus Bali, ada 4 juta orang yang tinggal di atasnya, padahal kapasitas daya tampung dan daya dukung optimal hanya untuk 1,5 juta orang. Kehidupan setiap individu kemudian bersifat ambigu, hanya berteori tanpa dipraktekkan. Contohnya, Wisnu selalu berbicara untuk mengurangi sampah plastik, tapi salah satu kudapan yang disajikan memakai plastik. Hehe ... Padahal hidup yang benar berdasarkan ajaran Bali haruslah ngeret indria, bukan ngulurin indria seperti banyak dilakukan saat ini.

Salah satu hal penting yang bisa dilakukan dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim adalah laku hidup santun bersama. Caranya, dengan melakukan pembatasan diri, kemudian membiasakan diri mempraktekkan laku santun. Pembiasaan diri yang sangat mudah untuk dilakukan misalnya menanam pohon atau melepas burung pada setiap hari lahir, atau membawa tas belanja sendiri ketika berbelanja. Pembatasan dan pembiasaan diri pada akhirnya perlu dilembagakan dalam aturan adat.

Pembicaraan di tingkat provinsi seperti diceritakan di atas kemudian dilanjutkan ke tingkat desa. Desa yang dipilih adalah Kiadan Pelaga di Petang, Badung. Pilihan didasarkan pada kebutuhan untuk melihat dampak perubahan iklim yang sudah dirasakan oleh anggota subak abian. Sebagai informasi, Kiadan Pelaga merupakan desa penghasil kopi yang petaninya tergabung dalam Subak Abian Sari Boga. Diskusi ini dilakukan pada 24 September 2011.

Sedikit berbeda dengan pembicaraan tingkat provinsi yang bersifat umum, peserta diskusi terfokus kelompok subak lebih menceritakan secara detil hal-hal yang sudah dirasakan. Sudah dua kali para petani kopi gagal panen karena curah hujan yang tinggi dan berkepanjangan sehingga menggugurkan bunga kopi. Dan, jika kemarau, panas matahari sangat terik sehingga melayukan bunga kopi. Para petani pada akhirnya harus mencari kerja sampingan sebagai buruh bangunan, sampai ke luar desa. Bagi yang tidak bisa, harus mengurangi pengeluaran untuk konsumsi harian.

Dirasakan juga, ada banyak tanda alam yang mulai hilang. Misalnya, para orang tua selalu melihat kabut atau awan yang menyelimuti gunung untuk mengetahui apakah hujan akan turun di Kiadan. Namun, sejak dua tahun terakhir, kabut atau awan di sekitar gunung tidak lagi bisa dijadikan patokan. Hujan datang tiba-tiba tanpa tanda-tanda, atau jika ada awan yang menyelimuti gunung, belum tentu juga hujan akan turun.

Walaupun demikian, para petani tetap melakukan upaya untuk tetap bisa bertahan di tengah ketidakjelasan cuaca, baik secara niskala maupun sekala. Ritual upacara memohon keselamatan tanaman tetap dilakukan, mulai dari nyaap (sebelum menanam), peneduhan (setelah tanaman tumbuh), nglamping aturin (setelah panen), ngusaba, dan nangsil yang dilakukan dua tahun sekali. Sementara, secara sekala di antaranya
melalui reboisasi hutan, penanaman berbagai jenis tanaman bambu, dan mengembangkan jasa lingkungan melalui ekowisata.

2011-08-25

Juru Pencar di Perancak



Juru pencar juru pencar
Mai jalan mencar ngejuk ebe
Be gede gede
Be gede gede

Di sowane ajake liu


Jumlah juru pencar di Desa Perancak, Negara tidak lagi sebanyak 10-20 tahun yang lalu. Tinggal beberapa orang yang saat ini menguasai seni pencar, salah satunya adalah Pak Sarka. Pak Sarka masih setia menjalani profesinya, walaupun ikan yang didapat tidak lagi sebesar 20, bahkan 10 tahun yang lalu. Hal ini yang menyebabkan sebagian besar nelayan Perancak, walaupun memiliki jaring pencar, tidak lagi menjalani profesi juru pencar.

Tidak ada lagi 'be gede' di sepanjang laut tepi Perancak, bahkan di laut dangkal dan dalam. Jaring berukuran 1 cm yang digunakan kapal-kapal purse seine telah mengambil ikan besar dan kecil yang ada. Padahal berdasarkan peraturan, jaring yang boleh digunakan adalah yang berukuran 1 inci atau 2,54 cm. Keuntungan besar sudah didapat para pemilik kapal besar ini, dengan jumlah ekstrim Rp 300 juta dalam semalam, dari sekitar 30 ton ikan lemuru yang berhasil ditangkap, dan jenis lain ikutannya. Pabrik pengalengan ikan sudah menunggu ...

Bukan hanya ukuran ikan yang semakin mengecil. Waktu yang dibutuhkan untuk menangkap ikan juga semakin panjang. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh para juru pencar, melainkan juga para nelayan tradisional pengguna jukung. Walaupun jarak penangkapan sudah semakin jauh dari pantai, hasil yang didapat masih belum bisa memenuhi kebutuhan hidup.



Satu upaya harus dilakukan oleh para juru pencar dan nelayan tradisional bersama para nelayan modern dan pemerintah daerah, agar ikan yang didapat kembali berukuran besar dan jumlahnya semakin banyak ... bahkan yang berada di muara. Mungkin dengan membuat wilayah konservasi laut tempat ikan bertelur dan membuat aturan sasi seperti di Maluku dan Papua. Sehingga para nelayan dan anak-anak nelayan bisa lagi bernyanyi Be gede gede ... be gede gede ... di sowane ajake liu ...

2010-06-11

Identifikasi Tanaman di Wisnu


Identifikasi tanaman dilakukan sebagai bagian dari program pengolahan data dan informasi. Kegiatan ini ditujukan untuk mengetahui berbagai jenis tanaman yang tumbuh di areal Wisnu, meliputi pohon, perdu, dan tanaman budidaya, juga untuk mengetahui fungsinya sebagai tanaman pangan, obat, dan kebutuhan upacara. Kegiatan ini juga merupakan bagian dari pengembangan pertanian yang dilakukan oleh Sekaa Tales (Tani Lestari).

Sedikitnya ada 50 jenis pohon (tanaman keras) yang sudah berhasil diidentifikasi, di antaranya gatep dan sukun. Gatep atau gayam (Inocarpus edulis) kemudian dijadikan nama untuk warung yang berada di bagian depan areal Wisnu. Karena letaknya di bawah pohon gatep, maka dinamakan Warung Beten Gatep. Buahnya bisa direbus dan dijadikan tepung. Daunnya bisa untuk mengobati kencing batu dan untuk obat bisul, sementara kulit pohon untuk mengobati rematik. Bijinya bisa juga digunakan sebagai sumber bahan bakar nabati. Di Bali, buah gatep digunakan sebagai kelengkapan banten bagia pule kerti, pengadang-adang, dan dewa-dewi.

Sementara jenis perdu diidentifikasi sedikitnya 34 jenis. Rambusa (Passiflora foetida) adalah jenis yang berbunga paling cantik. Mirip seperti bunga markisa (Passiflora edulis) namun ukurannya lebih kecil. Buahnya bisa dimakan dan pucuk daun bisa dimasak sebagai sayur. Jenis lain yang menarik adalah kembang bintang atau kitolod (Isotoma longiflora). Bunganya yang seperti bintang berfungsi untuk mengatasi gangguan mata dan katarak. Sementara getahnya yang mengandung racun berfungsi sebagai antiradang, antikanker, menghilangkan nyeri dan menghentikan pendarahan.

Juga ada beberapa jenis teratai atau padma di kolam Wisnu. Sedikitnya ada tiga jenis, yaitu teratai putih (Nymphaea odorata), teratai merah (Nymphaea rubra), dan teratai ungu (Nymphaea nouchali). Tanaman lain yang cukup banyak adalah anggrek, yang sampai saat ini belum dilakukan identifikasi terhadap jenis yang ada.

Hasil identifikasi ini nantinya akan diterbitkan dalam bentuk buku. Selain berisi berbagai jenis tanaman yang ada di Wisnu, buku ini juga akan menceritakan proses pertanian yang dilakukan oleh Sekaa Tani Lestari. Saat ini kegiatan yang sedang dilakukan adalah penyiapan lahan dan renovasi kandang sapi sebagai sumber energi alternatif.

2009-05-20

Antara 33 dan 15

33


Sejak jaman dulu kala, angka ini telah biasa diterima bila mendengar sate panca sanak, karena jumlah tersebut merupakan jumlah total urip panca wara, umanis, paing, pon, wage, kliwon dengan urip masing-masing: 5, 9,7 4,8 sehingga jumlah total katiknya 33 suatu perhitungan yang sudah lumbrah dalam perhitungan wariga di Bali.

Angka ini mampu menyentak dan menjadi polemik setelah dijadikan angka tawaran tinggi bangunan yang diusulkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali yang mana sebelumnya ketinggian bangunan yang disepkati maksimal 15 mete r atau setinggi pohon kelapa.


Berkembanglah angka 33 menjadi angka yang ditafsir dan dinterpretasikan ada muatan kepentingan walaupun pencetusnya berani bersumpah itu usulan pribadi dan murni untuk menhindari pertambahan perubahan lahan pertanian. Maka bangunan seperti rumah sakit, kantor, sekolah, universitas, pasar, pusat perbelanjaan dan hotel bintang empat ke atas diusulkan boleh mendapat ijin tinggi bangunan setinggi 33 meter. Diusulkan lagi bangunan seperti menara pemancar, tiang listrik tegangan tinggi, mercu suar, menara-menara bangunan keagamaan, menara keselamatan penerbangan dan bangunan pertahanan keamanan juga diijinkan.


Dilihat dari perspektif hak warga negara yang dalam hal ini kebetulan percetusnya adalah warga Bali yang beragama Hindu, warga tersebut haknya dilindungi undang-undang yang setiap warga negara mempunyai hak mengeluarkan pendapat. Demikian juga dengan warga lainnya yang mempunyai hak mengemukakan pendapat untuk menolak gagasan tersebut tanpa dibarengi sikap benci pada pencetus gagasan tersebut.


Coba bayangkan bila yang mengeluarkan pendapat tersebut bukan orang Bali yang beragama Hindu yang sudah menjadi penduduk Bali dengan pertimbangan mereka juga memiliki hak atas ruang Bali atau orang asing yang sudah punya KITAS dan berniat menjadi warga negara Indonesia namun memilih tinggal di Bali? Sudah bisa ditebak, sudah pasti tanpa argumen yang cerdas, data pendukung yang valid dan kuat, mereka sudah dicap bahwa mereka itu ingin menghancurkan Bali.


Benarkah yang menghancurkan Bali adalah pihak luar? Atau pesan apa yang sebenarnya kita sebagai penghuni Pulau Bali ini harus lihat dibalik lontaran spontan tersebut, tanpa memperdulikan angka 33 itu keluar dari orang Bali atau bukan?


Dari sini tersirat ada kesan romantis bahwa, ya betul, pada masa kecil kita pernah mengalami suasana hidup di pulau ini yang relatif indah dan kehidupan penduduknya masih pola kehidupan yang mempertimbangkan keseimbangan. Pola ngayah dan mencari nafkah masih relatif ada keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Bentang alam persawahan masih menghijau dan kepemilikan masih dominan dipegang oleh masyarakat lokal. Rasa aman, nyaman, penyamabryaan masih dirasakan menjiwai pola hubungan kemasyarakatan yang ada.


Mana kala rasa aman dan nyaman terusik dan masyarakat cenderung memikirkan dirinya sendiri ditambah kedatangan para pendatang, investor maupun orang asing, yang paa dirir mereka tidak melekat kewajiban menjaga kultur, keruangan hidup di Pulau Bali ini menjadi ruang kompetisi disegala bidang dan tingkatan. Orang lokal mulai harus berpacu dengan waktu, berkompetisi peluang pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhan pokok untuk hidup. Ada kekuwatiran kalah bersaing, tidak aman dan nyaman yang pada akhirnya perlahan-lahan merubah temperamen orang Bali yang terkenal toleran menjadi sensitif dengan penuh kecurigaan. Tanpa mengkritisi dengan fleksibilitas daya pikir desa, kala dan patra bahwa waktu seperti sekarang ini dan keadaan seperti ini, apa saja data dan fakta yang harus dilihat untuk dijadikan pertimbangan sehingga terjadi keseimbangan baru dalam konteks kekinian Bali.


15


Acuan angka ini jelas yaitu setinggi pohon kelapa. Kenapa pohon kelapa? Karena pohon kelapa sudah menjadi ikon yang melekat pada daerah tropis, pulau kecil dan pantai pasir putih. Hal tersebut merupakan hal eksotis yang rindu untuk dikunjungi oleh para pelancong dari belahan dunia Barat. Bali memiliki itu semua, sehingga sangat layak untuk menjadi sebuah destinasi berwisata.


Bali unik dengan budayanya yang adiluhung. Kelapa merupakan komponen budaya Bali yang sangat signifikan. Apalagi dalam sistem kepercayaan kita kelapa menyimbulkan Betara Siwa. Memberikan rasa hormat ciptaan Yang Maha Kuasa, yaitu pohon kelapa tanpa menghalangi haknya atas sinar surya adalah suatu sikap yang sangat arif. Memberikan hak azasi pada pohon pada tanaman (kelapa sebagai wakil) adalah suatu pola pikir yang sangat jauh kedepan. Hal ini menjadi salah satu dari relasi dalam Tri Hita Karana yaitu hubungan yang selaras antara manusia dan lingkungan. Filosofi ini menjadi indentitas Bali dan mengatur bangunan setara pohon kelapa juga automatis menjadi identitas Bali. Pesannya mungkin seperti ini: “Hai manusia, Janganlah terlalu serakah dan sombong, langitpun mau dicakar.”. Mudah-mudahan manusia mampu mengendalikan keserakahannya.


Kecendrungan perkembangan dunia ke depan, back to nature akibat dahsyatnya kerusakan lingkungan akibat sombongnya ulah manusia atas alam lingkungan membawa Negara seperti Francis menambah konstitusinya dengan mengadposi pelestarian lingkungan kedalam undang-undangnya bahkan Costa Rica menjabarkan lebih banyak dalam undang-undang negaranya. Mereka menyadari hak azasi lingkungan dimasa depan akan menjadi hal yang sangat patut diperjuangkan sebagaiman perjuangan pendeklarasian Hak Azasi Manusia. Leluhur kita di Bali, telah banyak mewarisi kita akan kearifan respek terhadap alam antara lain, tumpek uduh, sad kertih, subak, segara gunung dan masih banyak pesan arif yang lainnya.


33 ?


Dalam berlangsungnya pembahasan RTRWP Bali angka 33 menjadi kontroversial karena dikuti dengan permintaan agar tinngi bangunan seperti rumah sakit, kantor, sekolah, universitas, pasar, pusat perbelanjaan dan hotel bintang empat ke atas diusulkan boleh mendapat ijin tinggi bangunan setinggi 33 meter. Diusulkan lagi bangunan seperti menara pemancar, tiang listrik tegangan tinggi, mercu suar, menara-menara bangunan keagamaan, menara keselamatan penerbangan dan bangunan pertahanan keamanan juga diijinkan.


Saya melihat usulan angka 33 ini lebih pada cara berpikir urban-sentralistik/metropolis karena kalau kita melihat keruangan Bali apapun usulan yang ditawarkan haruslah berbasis data pendukung dan analisis data yang kuat. Kenapa saya mengatakan cara berpikir urban karena secara logikanya perkembangan kota yang pesat akan memangsa daerah-daerah bentang alam di sekitarnya. Akan tetapi kalau logikanya di balik dan data penunjangnya ada, bila Denpasar sudah melewati ambang batas kenapa keputusan penataan raungnya tidak melakukan moratorium pembangunan di Denpasar namun meratakan ke kabupaten lainnya di Bali dengan kualitas layanan yang sama dengan Denpasar. Baik itu untuk sekolah, pasar, universitas, rumah sakit dll. Pengembangan Rumah sakit dapat juga dibantu dengan pembangunan puskesmas yang layananannya sama handalnya dengan rumah sakit lainnya. Selain mencegah urbanisasi, pelayanan publik di dekatkan ke masyarakat dengan standar kualitas yang lebih baik. Bila cara pikirnya dirubah seperti itu apakah masih butuh ketinggian bangunan 33 meter dengan segala konsekuensinya yang sangat mahal?


Trend pertambahan penduduk 20 tahun ke depan tentu meningkat. Pertambahan penduduk lokal kurang lebih 1%, pendatang sekitar 5%, wisatawan anggaplah 2%. Yang mana yang seharusnya di atur agar penggunaan ruang di Bali lebih irit. Akomodasi kepariwisataan juga dilihat kemungkinannya pe kabupaten. Bila pengaturan ini ditempuh apakah masih kita butuh angka 33?


Begitu juga dengan rencana mengorganikan Bali dan menetukan wilayah sawah abadi. Dan bila kebijakan pertanian kita di rubah agar pertanian mampu memberikan nilai tambah yang lebih sehingga menjadi pendapatan yang layak bagi petani dan membangun martabat petani sehingga kesehatan petani dan penduduk meningkat, apakah kita masih perlu rumah sakit setinggi 33 meter?


Kembali ke 15


Ketinggian banguna 15 meter setinggi pohon kelapa di RTRWP Bali layak dipertahankan sebagai identitas keeksotikan ruang dan kultural Bali.


2009-05-01

Beberapa Catatan untuk Kajian Akademis RTRWP Bali

Dalam Laporan Draft Final Penyusunan Kajian Akademis Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali ada hal yang perlu dikritisi, a.l:
  1. Data-data yang disajikan kurang lengkap karena tidak menyajikan trend data dari pelaksanaan Tata Ruang terdahulu, kondisi sekarang dan data-data kecendungan sampai 20 tahun ke depan atau 2028
  2. Tidak ada menyinggung maupun menyajikan data kondisi Pulau Bali sebagai pulau kecil dalam konteks pengaruh pemanasan Global, yang menurut prediksi para ahli Pemanasan Global tahun 2050 permukaan air laut bisa naik 6 meter, Kuta, Sanur, Denpasar dan beberapa daerah pantai tergenang. Begitu juga implikasi lainnya terhadap pertanian terkait kegagalan panen. Bagaimana kecendrungan Penataan Ruang yang akan terjadi dengan luas pulau Bali sampai tahun 2028?
  3. Masyarakat Bali sebagai penghuni pulau kecil hidupnya terkait erat dengan tanah, air dan tanaman. Masyarakat Bali lah merupakan penjaga utama terhadap keragaman biologi dan budaya nya. Identitas, pengetahuan lokal, matapencaharian/ruang hidup, budaya dan hak-hak kita didasari pada keberadaan dan hubungan-hubungan yang saling menjaga terhadap tanah, air dan sumberdaya lainnya sejak ribuan tahun. Maka jika lahan/tanahnya kena dampak atau berubah/terpengaruh akibat pemanasan global kita masyarakat lokal di pulau kecil yang akan menderita paling banyak Bila satu komponen saja seperti tanah dirubah peruntukannya akan merubah konstelasi keseimbangan relasi manusia dan lingkungannnya. Dalam laporan kajian akademis belum ditunjukan kepada masyarakat Bali sebagai pemilik ruang pulau Bali ini suatu scenario penataan keruangan Bali antara daya dukung (abiotik, biotik dan kultur) dengan trend pertambahan penduduk, ancaman pemanasan global dan kapasitas serta integritas pelaksana pemerintahan.
  4. Laporan Kajian Akademik tidak menuliskan asumsi namun dari penyajiannya tersirat seolah-olah kondisi, potensi dan keadaan lingkungan Bali baik-baik saja, karena tidak dijumpai data tentang permasalahan maupun kerusakan ruang Bali saat ini. Begitu juga dengan kondisi tanah-tanah pertanian yang sudah tercemar zat-zat kimia. Belum muncul kajian yang berani menetukan luasan sawah abadi, ruang terbuka hijau, green belt yang tetap dllnya.
  5. Sejak tahun 2000, Yayasan Wisnu dengan masyarakat dampingannya di 4 desa (Desa Adat Kiadan, Badung; Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Banjar Adat Dukuh Sibetan dan Nusa Ceningan membuat model program penataan ruang yang berbasis masyarakat melalui pembuatan peta partisipatif oleh masyarakat, melihat masalah dan potensi yang ada kemudian menggunakan hal tersebut sebagai basis perencanaan sampai sekarang mereka mampu mengelola jaringan ekowisata desa (JED)nya (www.jed.or.id). Prakarsa seperti ini adalah bercorak buttom up planning yang merupakan sebuah kritik terhadap pola penyusunan tata ruang Bali yang berorientasi pariwisata masal, mengakomodir modal besar dan bercorak perencanaan top down.
  6. Akhirnya apa yang dikatakan oleh masyarakat 4 desa diatas sejak tahun 2000 bahwa secara sistematis masyarakat dibuat tidak mampu untuk berperan aktif dalam pengambilan keputusan tentang tata ruang dan kebijakan pengelolaan sumberdayanya sehingga muncul berbagai ancaman terhadap kelestarian lingkungan, social, ekonomi dan budaya. Akibatnya, masyarakat selalu berada dalam posisi yang dirugikan/dikorbankan. (Rapat Gabungan masyakat 4 desa, 2000 di Kantor Yayasan Wisnu). Bila kita meyakini Penataan ruang juga sebuah proses pembelajaran berdemokrasi untuk mencapai kesejahteraan maka partisipasi rakyat adalah sangat vital. Laporan Kajian Akademik ini masih bernuansa demokrasi elit intelektual dan birokratik yang tanpa disadari telah mengingkari sang pemegang mandate sah dari ruang pulau Bali ini yaitu rakyat Bali.

Atas pertimbangan hal-hal tersebut di atas, Laporan kajian Akademis Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali ini masih dalam kategori “business as usual” belum mampu memberikan masyarakat Bali rasa aman dan nyaman melalui RTRWP Bali ini. Terkesan Pariwisata denga modal besar di belakangnya akan tetap melenggang serta kawasan alami Bali akan mulai dirambah Taman Wisata Alam.

Bila ditingkat kajian akademis saja masih menyimpan banyak keraguan maka akan menimbulkan banyak keraguan-keraguan berikutnya ditingkat pasal-pasal yang akan dituangkan dalam Ranperda Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali.

2009-04-18

Ruang Hidup Masyarakat Bali Terancam

Kepemilikan ruang publik di Bali sifatnya kolektif untuk itu penataan ruang RTRWP Bali tidak legitimate/sah bila belum mendapatkan persetujuan atau diselaraskan dengan dasar falsafah dari organisasi kolektif wakil-wakil mayarakat Bali yaitu Subak dan Desa Pekraman. Tatanan penataan ruang kehidupan mereka sangat sarat mencerminkan budaya Bali dan falsafah Tri Hita Karana. Hal-hal yang menyangkut penataan ruang atas nama pembangunan Bali harus diselaraskan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya Bali dan falsafah tersebut yang mana secara praktek kesehariannya masih dilaksanakan secara kolektif oleh masyarakat Bali. Artinya harus ada mekanisme konsultatif dan persetujuan dari parum agung desa pekraman se Bali atas wakil “pengempon” kewilayahan baik di pura, desa dan subak.


Ruang kultural kolektif

Citra dan keberadaan Bali seperti sekarang ini yaitu Pulau Sorga, Pulau Seribu Pura, keindahan terasering lahan pertanian, keunikan dan keruwetan system ritualnya sampai the Best Island Destination in the World adalah cerminan dari budaya yang berakar pada kultur pertanian mayarakat Bali.


Sistem kepercayaan dan system etika masyarakat Bali yang diwariskan oleh para leluhur Bali sangat menjunjung tinggi kesucian dan kebersamaan. Secara bersama menjaga kesucian ruang (kosmik) baik itu pura, subak maupun ruang desa pekraman dan juga di banjar dengan aturan tidak boleh masuk ke pura bila sedang “sebel”, tidak boleh mencemari lingkungan termasuk merusak hutan, menebang pohon sembarangan, mencemari air, dan berprilaku tidak etis dalam di pura, subak, desa maupun yang lainnya. Secara kesadaran bersama ada tanggung jawab mengawasi dan bila ada pelanggaran akan diwajibkan melakukan penyucian dengan upaca pemrayascita. Hal-hal seperti itu tersurat dalam awig dan perarem masing-masing Subak, Desa Pekraman dan banjar.


Sebelum bersentuhan dengan pemerintahan dunia modern Bali pernah memiliki kedaulatan atas ruang hidupnya bahwa tata kuasa, tata guna dan tata kelola ada ditangan masyarakat Bali. Hak-hak politik atas wilayah dan ruang hidupnya, ketetapan mengaturnya dan menikmati pemanfaatannya secara adil pernah diwarisi oleh para leluhur Bali (Konsep Neyegara Gunung; Alas Angker, Alas Purwa, Alas Rusmini, Ladang, Sawah dan Tebe: system Subak, Sistem Desa Adat, Bisama kesucian dll)


Saya tidak hendak mengajak masyarakat Bali untuk beromantika karena dalam jaman sekarang telah juga sering kita baca di media masa bahwa tidak semua bagian dari budaya Bali baik namun sudah jelas tidak sedikit juga nilai-nilai yang sangat baik dalam Budaya Bali relevan untuk dilanjutkan. Kesadaran atas itu menjadi relevan juga sebagai masyarakt Bali untuk ikut berpartisipasi dalam menyikapi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang sedang digodok saat ini. Ini adalah kesempatan kita menunjukkan kepedulian kita atas pengaturan ruang kehidupan kita agar nantinya penataan raung ini mampu memberikan masyarakat Bali rasa aman untuk melaksakan kehidupannya secara aman dan pada akhirnya mencapai kesejahteraan.


Ruang Hidup Bali Terancam

Mungkin tidak semua masyarakat Bali mampu menyikapi perubahan (kemajuan???) secara kritis bahkan kadang tanpa disadari mereka ikut menikmati tanpa merasa bersalah. Sedikit kita menengok ke belakang, kepemilikan tanah di Bali pernah secara kolektif bahwa tanah dimiliki oleh desa adat (duwen desa), duwen pura, duwe tengah dan seterusnya. Karena Negara modern, termasuk Indonesia menginginkan pajak atas tanah maka dilaksanakanlah pensertifikatan tanah-tanah komunal yang ada (Prona). Alasannya adalah agar kepemilikannya jelas dan tidak menimbulkan konflik dikemudian hari. Kenyataannya begitu pensertfikatan terjadi manipulasi siapa yang berhak atasnama, sudah menimbulkan konflik.


Dan yang kurang disikapi secara kritis adalah tanah Bali yang sarat dengan nilai budaya sudah dikomuditikan, dengan mudah bisa digadaikan di bank dan begitu juga untuk diperjual belikan. Bahkan para calo tanah sudah tidak menyadari apa yang mereka lakukan atas akar budaya Bali (tanah), yang penting untung. Demikian seterusnya sampai Tata Ruang yang terdahulu harus menyediakan daerah tujuan khusus/zona untuk kawasan wisata sebagai zona penampung modal luar dan penuh dengan transaksi jual beli. Tanah Bali pun berpindah kepemilikan, ada yang selamanya ada juga mekanisme sewa jangka panjang sampai 95 tahun.


Kebijakan lain yang tanpa disadari pelan-pelan mengancam adalah kebijakan Bidang pertanian tentang Revolusi Hijau. Kebijakan ini berupa satu paket kebijakan Hutang Indonesia kepada Asian Development Bank (ADB). Dimulai dari pemakaian bibit unggul, pupuk dan pestisida, pembuatan bendungan, perbaikan saluran irigasi telah diakui oleh ADB sebagai proyek yang gagal. Proyek hutang ini menyisakan banyak masalah lingkungan, sosial dan kesehatan. Masalah Lingkungan karena merusak tatanan ekositem pertanian alami, mencemari tanah sampai berpengaruh pada kesehatan manusia yang telah mencemari sampai pada air susu ibu terkontaminasi zat kimia dan juga budaya gotong royong yang menurun. Dan sampai sekarang rakyat tetap menanggung beban hutang.


Ancaman yang lain tidak kalah mengkawatirkan adalah isu Global Warming (Pemanasan Global) yang konvensi Internasionalnya Desember 2007 diadakan di pulau Bali tercinta ini. Menurut prediksi para ahli dan telah juga pernah dimuat di Harian Bali Post ini bahwa jika gaya hidup kita dan masyarakat dunia masih seperti gaya hidup yang hiper konsumtif, tidak peduli lingkungan maka air laut di tahun 2050 akan naik 6 meter. Atas prediksi tersebut wilayah pesisir dan Bali Selatan khususnya Kuta, Sanur dan Denpasar akan tenggelam. Belum kita bicara kegagalan panen karena musim yang berubah, ketersediaan air bersih yang sangat kritis karena banyak data yang mengungkapkan bahwa sekarang ini Bali krisis air bersih.


Kemana arah Bali dengan RTRWP yang baru?


Menengok kebelakang, merasakan keadaan sekarang dan merancang ruang kehidupan masa depan Bali minimal dalam masa 20 tahun kedepan sebagai mana periode rancangan RTRWP Bali ini penting bagi kita masyarakat Bali untuk terlibat agar jangan sampai kita sebagai generasi yang bertanggung jawab membuat perencanaan masa depan menuai kutukan dari anak cucu kita. Karena kita orang Bali yang meyakini hukum kawitan, kita tidak ingin generasi penerus kita menghujat “sane tan rahuyu” untuk roh kita. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita masyakat Bali dan mereka yang bermomisili di Bali.


  1. Sebagai mana sebuah peraturan yang mau disusun tentunya memiliki telaah akademik dalam artian telaah tersebut diharapkan mampu memberikan informasi yang akurat dan komprehensif kepada publik karena setelah aturan itu ditetapkan akan berimplikasi langsung kepada masyarakat Bali. Adalah Hak masyakat Bali untuk mengetahuinya, bila belum banyak yang tahu dan mendengar RTRWP ini mohon tidak diputus secara tergesa-gesa. Lakukanlah sosialisasi yang betul atau proses partisipatif yang mencermikan buttop up planning.
  2. Bila daya dukung Bali secara kualitas menurun (air, tanah pertanian dan udara tercemar) dan secara kuantitas serta ketersediaan semakin terbatas (air kritis, produksi pangan menurun, keanekaragaman hayati menurun, hutan menggundul, luas wilayah Bali berkurang), sedangkan sesuai prediksi kepadatan penduduk Bali ditahun 2028 (batas akhir RTRWP) melonjak dari 570 jiwa/km2 naik menjadi 3.600 jiwa/km2 (hasil prediksi tim Akademik, RTRWP) bagaimana bentuk perencanaan RTRWP nya? Karena dalam naskah akademiknya tidak memberikan “scenario building” Bali tahun 2028? Kembali kami tekankan, adalah Hak kami untuk yakin dengan RTRWP ini ruang hidup kami dari tahun ditetapkan RTRWP ini (2009?) sampai 2028 memberikan rasa nyaman.
  3. Majelis Desa Pekraman Bali sebagai pemilik kedaulatan ruang Bali semestinya mengambil langkah-langkah kongkrit agar Penatan Ruang Kehidupan Bali yang berbasis Budaya Bali dengan falsafah Tri Hita Karananya terakomodir dengan baik dalam RTRW ini.
  4. Perlu juga dipikirkan hak dan kewajiban atas ruang kehidupan Bali bagi masyarakat non penganut budaya Bali termasuk orang asing.



Denpasar 18 April 2009

I Made Suarnatha

Direktur Ekskutif Yayasan Wisnu

2009-02-13

Riset Asik di Lembongan


Akhirnya gagasan tersebut terimplementasikan. Dua puluh anak lebih bisa dilibatkan dalam kegiatan pengumpulan data di wilayah mereka sendiri. Kegiatan dilakukan sebagai bagian dari upaya menghadapai dampak pemanasan global dan perubahan iklim di pulau kecil Lembongan dan Ceningan. Langkah awal yang dirasa sangat penting adalah mengetahui kondisi fisik, biologi, dan sosial budaya pulau mereka, baik potensi maupun masalahnya.

Kegiatan yang digagas oleh Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim tersebut mengajak guru dan siswa SMK Pariwisata di Lembongan melalui kelompok pramuka yang ada. Karena data yang harus dikumpulkan terbagi dalam tiga 'wilayah hidup', maka siswa pramuka yang terlibat kemudian juga menyepakati bahwa kelompok dibagi tiga sesuai kewilayahan tersebut: fisik, biologi, sosial budaya.

Pertemuan pada hari I, 31 Jan 2009 diawali dengan permainan 'kejepit' ... rasanya ini adalah permainan yang sering dimainkan di PPLH Bali. Entah mengapa Herni memilih permainan ini, dan yang 'kejepit' harus menyanyikan 'Garuda Pancasila' dan 'Padamu Negeri' secara bersamaan. Begitulah ... dan permainan tersebut bisa mencairkan suasana. Sayang Agung tidak memasukkan dirinya ke dalam lingkaran. Mungkin dia berpikir kalau dia harus selalu menjaga citra dirinya.

Setelah bermain, menyepakati data apa saja yang harus dikumpulkan. Sebagian besar dilakukan dengan metode wawancara, sehingga setiap kelompok dibekali dengan satu alat perekam. Jadi pada hari itu juga setiap kelompok belajar cara menggunakan alat tersebut. Selain itu, khusus untuk kelompok fisik, mereka harus menyiapkan alat yang akan digunakan untuk mengukur tinggi muka air laut.

Hari II, 1 Feb 2009. Setiap kelompok berlatih mengumpulkan data dengan cara wawancara. Masing-masing satu kelompok mewawancarai satu orang. Ternyata hasilnya menyenangkan! Menurut pendapat beberapa siswa, mereka mendapatkan banyak informasi baru yang belum mereka ketahui sebelumnya. Misalnya, ternyata ada banyak jenis tari Sanghyang yang sudah tidak lagi ditarikan di Lembongan. Katanya, karena sulit menemukan regenerasi.

Hasil lengkap nantinya akan dianalisis, untuk kemudian dibuat menjadi rencana aksi dalam menghadapi dampak pemanasan global di pulau kecil. Rencananya pengumpulan data akan dilakukan selama 4-6 bulan ke depan. Sukses selalu!!!

Satu hal yang sangat unik: silakan lihat foto di bawah. Fenomena ini kami temukan di pantai Sanur, ketika kami pulang dari Lembongan.

2009-01-29

Jalan-jalan ke Tamblingan

Kali ini merupakan perjalanan kedua, 22 Januari 2009 bersama teman-teman Walhi Bali (Agung, Dekgus, Yoga) dan Bu Suati. Perjalanan pertama dilakukan pada tanggal 9 Desember 2008, hanya Atiek dan Denik. Tapi ketika itu belum sempat diceritakan. Padahal perjalanannya sedikit menegangkan karena salah memilih jalan. Bukan lewat Munduk, melainkan jalan menuju Gobleg yang kecil, curam, dan berliku. Wow!

Perjalanan ke Tamblingan terkait dengan kerja sama penelitian dengan Dr. Carol Warren tentang Catur Desa. Penelitian ditujukan untuk mendalami pengertian tentang filsafat dan kepercayaan terhadap lingkungan serta sikap umum terhadap proyek pembangunan (khususnya TWA Buyan dan Geothermal Bedugul) di kawasan suci Catur Desa Tamblingan dan sekitarnya. Tujuan kedua dari penelitian adalah mengetrahui struktur adat Catur Desa, peranan pengrajeg, pemangku pura dan tokoh adat/agama/dinas dalam proses merespon proyek pembangunan. Penelitian juga bertujuan mengetahui sejauh mana pandangan mereka yang mewakili pandangan umum masyarakat mengenai isu-isu tersebut.

Ada banyak hal yang sangat menarik, terutama tentang Catur Desa yang merupakan desa tua di Bali. Adat dan upacara yang dilakukan sedikit berbeda dengan Bali pada umumnya. Demikian halnya dengan keberadaan Pengrajeg Ida Manca Warna yang mempunyai beberapa peran dalam pelaksanaan upacara desa. Temuan-temuan tersebut akan dituliskan secara khusus dalam artikel.

Kali ini hanya ingin menceritakan perjalanan menarik ke Tamblingan. Bertemu beberapa tokoh penting: ketua BPD, Kepala Desa, Pengrajeg Ida Manca Warna, dan wakil Klian Adat Desa Pekraman Tamblingan yang baru memekarkan diri. Selain banyak informasi yang didapat, hal menarik adalah melihat kupu-kupu barong di rumah Pak Semen. Ternyata setelah menjadi kupu-kupu dari kepompong, dalam waktu 3 jam mereka sudah besar dan bisa langsung melakukan perkawinan. Dalam hitungan menit, sayap kupu-kupu yang awalnya lemas ketika keluar dari kepompong, sudah menjadi keras dan tampak jelas kecepatan pertumbuhannya. Sayangnya umur hidup mereka hanya sekitar 10 hari ... Tapi ada banyak telur yang dihasilkan dari perkawinannya.

2008-12-05

Jogja ... Jawa Baru

Setelah 12 hari menjadi panitia untuk kegiatan CO Course 2008 SEAPCP, kami memutuskan untuk cuti bersama ke Jogja ... sekaligus menghadiri undangan dan membuat rencana program.

Terbang dari Bali tanggal 24 Nopember 2008 jam 06.20 bersama Lion: Pak Suar, Bu Suati, Galang, Binar, Atiek, Denik. Tiba di Jogja langsung meluncur ke Matakayu. Ada keinginan untuk membeli segala jenis furnitur berbentuk unik yang dicat beraneka warna, membuat ruang terkesan 'cheerful'. Setelah melihat telur kodok di kebun yang sedang kurang terawat, gudeg jogja sudah menunggu untuk disantap. Terima kasih ... terima kasih untuk mobil yang boleh dipinjam selama kami di Jogja.

Kami memutuskan untuk menginap di Wisma Talenta III, Blimbingsari. Setelah menyusun rencana perjalanan, istirahat sebentar. Sebelum bertemu dengan Mas Pujo dan Pak Laksono di Antro UGM, kami berencana untuk berkeliling Malioboro. Tapi setelah sampai di sana harus berbelok arah, harus bertemu dengan Pak Mahmudi di LPTP. di tengah jalan hujan deras. Ngobrol tentang pengolahan limbah dengan digester. Salah satu rencana ke depan adalah mengolah limbah kotoran sapi di Pelaga untuk dijadikan bio gas. Obrolan dilanjutkan ke gedung Antro UGM, bertemu mas Pujo. Rencana disambut baik ... mas Pujo bersedia membantu sebagai 'dosen tamu' untuk para peneliti muda desa. Satu hal: banyak orang yang melakukan tapa (sekolah), namun tidak semua berhasil mempunyai taksu. Pak Laksono di PSAP (Pusat Studi Asia Pasifik) juga memberi tanggapan yang sama. PR setelah pulang: menyelesaikan konsep peneliti muda desa dan mengirimkan ke beliau berdua. Malamnya: makan malam di bebek goreng H. Saleh dan mampir ke Social Agency membeli beberapa buku.

Tanggal 25. Tour kampung: ke rumah mas Tanto di desa Caturharjo dan mbak Ardi di ... (apa ya namanya?). Wow! Asli desa: bersih, segar, hijau, sejuk. Jalan-jalan ke sawah, menyeberangi satu sungai kecil, bertemu luwing raksasa dan melihat orang menangkap lele. Lanjut keliling kebun organik ditemani lagu-lagu Iwan Abdulrachman. Belajar mengawinkan bunga timun, mencicipi buah markisa, minta beberapa bibit tanaman. Begitu juga di rumah mbak Ardi: cari-cari bibit yang bisa dibawa. Informasi dari mas Bimo, "dua bedeng tanaman tumpang sari bisa memenuhi kebutuhan harian 5 KK untuk sayur" Ada banyak pupuk cair organik di sana.

Lanjut ke kraton Jogja, keliling naik becak. Pertama, coba masuk ke 'ringin kembar'. Semua bisa masuk! Galang yang langsung bisa masuk pada percobaan pertama, yang lain harus 2 kali atau lebih untuk mencoba. Kedua, ke tempat pelukis pak Suhardi, membeli satu lukisan kereta kencana. Ketiga, keliling kraton Jogja tempo doeloe. Menakjubkan! Antara pola bangunan dan filosofi saling mendukung, ilmu higenitas dan ergonomis sudah diterapkan. Jika dibandingkan dengan bangunan jaman sekarang: tidak bisa dibandingkan! Kami juga diajak melihat taman sari dari balik tembok, dan melihat gunung merapi-laut selatan dari atas bangunan kerajaan yang sudah runtuh. Masih, tidak semua orang bisa menghargai bangunan tua. Keempat, mampir sebentar ke dagadu. Kelima, kembali ke halaman kraton saat ini. Semua mengesankan ... sayang pertama: baterai kamera habis, sayang kedua: makan malamnya terlalu tidak mengesankan, mie jawa di Bakmi Kadin. Rasanya terlalu banyak MSG.

Hari ketiga. Seminar di Sanatha Dharma, kampus III di ring road, tentang pemanfaatan potensi lokal dan pembangunan teknologi. Pak Suar diminta sebagai pembicara, tentang pengelolaan sumberdaya komunitas. Pembicara lain adalah Pak Lukiyanto dan Ibu Tri Mumpuni. Tidak perlu cerita banyak, seminar seperti biasa pada umumnya seminar. Sempat makan bakso Bethesda. Mampir sebentar ke Malioboro naik andong ke Mirota Batik, sebelum ke rumah mbak Putu. Dion sudah besar, dan senang ngomong atau nyanyi. Susu mbok Darmi ...

Hari keempat: tour candi - Candi Borobudur, Candi Rejo, Candi Prambanan. Indonesia hebat sekali. Teknik bercerita bukan hanya secara oral atau tulisan, tapi juga dengan cara memahat jutaan batu menjadi rangkaian sebuah cerita. Sungguh ... tidak bisa dibandingkan dengan kondisi yang terjadi saat ini. Sempat praktek menyapu karena tertarik dengan sapu yang digunakan di Borobudur. Sempat juga praktek menggiling kopi dan menumbuk padi dengan cara tradisional di Galeri Unik dan Antik juga di Borobudur. Khusus di Candi Rejo, naik sepeda dan naik delman. Menyenangkan sekali ...

2008-09-24

Menggagas Riset di Pulau Kecil

Minggu, 21 September 2008. Atiek, Denik, Catur, Herni, Agung dari Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim.
Rencana ke Ceningan seharusnya sudah dilakukan sejak bulan Juli lalu, namun belum terlaksana karena alasan kesibukan. Kemudian direncanakan 15 September, harus diundur juga karena Wisnu harus ke Sibetan untuk menghadiri acara 'pembakaran'.

Kunjungan ke pulau kecil Ceningan terkait dengan kampanye Hari Hening Sedunia - World Silent Day yang digagas oleh Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim. Sejak Agustus 2007, Bali Organic Association, PPLH Bali, Walhi ED Bali, dan Yayasan Wisnu sepakat bekerja sama dalam wadah kolaborasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim, terutama ketika itu untuk mengambil sikap dalam konferensi akbar UNFCCC di Nusa Dua. Sampai akhirnya semakin berkembang dan mendapat dukungan dari banyak pihak.

Kegiatan riset merupakan bagian dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan, disamping kampanye untuk menggalang dukungan terhadap World Silent Day. Kunjungan kali ini dimaksudkan sebagai observasi atau survey awal untuk melihat kondisi Ceningan saat ini, memperkenalkan Agung yang nantinya akan berperan sebagai koordinator riset kepada teman-teman Ceningan, serta menceritakan latar belakang dan rencana riset.

Sedikit disayangkan karena terjadi salah komunikasi dengan anak muda Ceningan. Siang dan sore hari ketika ditelpon dan bertemu mereka secara langsung, sudah disepakati bahwa pertemuan akan dilakukan jam 7 malam di rumah Mek Luh. Ditunggu sampai 20.30 mereka tidak juga datang, ternyata menurut informasi dari seorang Bapak yang datang ke rumah Mek Luh ada beberapa anak muda kumpul di Bale Banjar Ceningan Kawan. Sayang sekali ketua kelompoknya tidak bisa dihubungi. Akhirnya kami hanya ngobrol dengan Pak Sita dan Kadek Logok. Kunjungan selanjutnya akan dilakukan setelah Lebaran untuk bertemu langsung dengan kelompok anak muda yang nantinya akan berperan sebagai pengambil data riset.

Berdasarkan hasil kunjungan yang dilakukan, diketahui bahwa suhu di Ceningan panas sekali, diperkirakan bisa mencapai 38 derajat celcius. Tanah mulai digarap karena diperkirakan sebentar lagi akan datang musim hujan. Jenis tanaman yang direncanakan akan ditanam adalah ketela pohon dan jagung. Kedua jenis tanaman tersebut mempunyai ukuran, bentuk, dan rasa yang berbeda dengan ketela pohon dan jagung di Pulau Bali. Keduanya berukuran lebih kecil, berwarna lebih keputihan, dan rasanya lebih manis. Dulu, keduanya sering dicampur dengan nasi sebagai makanan pokok. Namun saat ini sudah jarang dilakukan, terutama ketika rumput laut mulai menjadi hasil pertanian yang diutamakan oleh para petani Ceningan.

Panas, namun angin bertiup semilir, sehingga menjadi satu alasan untuk menikmati tidur siang yang nyaman di dalam ruangan rumah Mek Luh yang sejuk. Apalagi perut sudah penuh setelah makan siang. Setelah matahari agak condong, disepakati untuk melihat gempuran ombak di karang Batu Melawang sambil menunggu matahari tenggelam. Sate ikan buatan Pak Endra menemani perjalanan kami ke sana. Trend baru sebagai ciri pilihan atas kepraktisan sudah terlihat, canang tidak lagi di'jait' dengan semat dari bambu melainkan menggunakan stepler 'cepret'. Laut biru, ombak besar pecah berbuih putih sebelum atau ketika mencapai karang-karang terjal, pintu masuk menuju harta karun sarang walet yang saat ini sudah hampir habis karena tergiur angka ratusan juta. Sore itu tidak tampak satu pun walet terbang untuk pulang ke sarangnya, padahal delapan sampai enam tahun lalu ratusan walet selalu terlihat menghiasi langit jingga di sebelah barat Nusa Ceningan.

Ketika berangkat dari Sanur, air laut cukup tinggi namun ombak cukup tenang. Matahari bersinar terik sehingga kami memutuskan untuk duduk di dalam jukung. Keesokan harinya ketika akan pulang dari Lembongan, ombak besar sehingga sulit naik ke jukung. Kondisi ombak besar sudah bisa diketahui dari Ceningan, yaitu ketika terlihat kabut di sebelah selatan. Supaya isi perut tidak keluar, kami memutuskan untuk duduk di bagian atas jukung. Selalu, waktu yang ditempuh lebih cepat dibanding Sanur-Lembongan, hanya satu jam. Butuh waktu agak lama untuk keluar dari daerah parkir pantai karena jumlah dan jenis kapal semakin banyak.

2008-08-29

Jadi Turis di Tiga Nusa

Ternyata memang menyenangkan jadi turis
Atiek, Denik, Pak Suar - kejadiannya sudah 1,5 bulan yang lalu tepatnya 10-12 Juli 2008

Jukung hari itu tidak ada yang langsung ke Toyapakeh, harus 'transit' dulu di Lembongan. Ombak lumayan besar, jadi kami memutuskan untuk duduk di atas dek jukung. Kalau duduk di dalam jukung, mungkin isi perut yang minta keluar, tidak mau lagi di dalam. Awal keberangkatan juga mengalami sedikit kesulitan karena jukung sempat terperangkap karang laut. Sekali-sekali rasanya tidak terlalu bermasalah, tapi kalau sering mungkin lambung jukung yang terbuat dari kayu bisa terkikis karang ...

Turun di pelabuhan Toyapakeh juga sedikit sulit. Hal ini juga membuat saya bertanya-tanya, apakah setiap hari jukung memang merapat di 'pelabuhan' tersebut atau hari itu merupakan hari spesial. Tidak ada pasir pantai di situ, yang ada adalah dinding batu setinggi 2-3 meter. Walaupun ada tangga selebar sekitar 3 meter pada dinding tersebut, tapi sedikit sulit mencapainya karena batu-batu yang besar dan licin. Dan tentu saja, anak tangga itu juga licin. Perlu ekstra hati-hati untuk tidak terpeleset, sangat tidak ergonomis.

Kami langsung naik ojek, dan terima kasih ... Pak Ardika ojek langsung mengantarkan kami ke penginapan yang cukup menyenangkan. Cukup, karena kamar-kamarnya tidak kedap suara, sehingga aktivitas yang dilakukan kamar tetangga bisa terdengar jelas. Termasuk suara dengkuran yang halus sekalipun.

Jam tiga sore kami putuskan untuk berkeliling lebih dulu, sebelum ke Pura Dalem Ped. Carter mobil umum Pak Ardika, asli Toyapakeh. Tujuan pertama adalah melihat pembangkit listrik tenaga angin di Desa Klumpu. Ada beberapa, dan tidak semua berputar. Awalnya saya pikir karena salah konstruksi, tapi ternyata memang dipasang dengan posisi berbeda untuk menerima angin dari berbagai arah. Ternyata juga, walaupun belum maksimal, rencana mandiri energi Nusa Gede perlu dipelajari. Bukan hanya angin, melainkan juga tenaga surya, jarak untuk biodiesel, dan biogas dari kotoran ternak. Wow!!!

Dilanjutkan sembahyang ke Pura Puncak Mundi. Ini juga wow! Ada pohon beringin sangat besar di tengah pura dan beberapa pohon besar lainnya. Kontras sekali suhu di dalam pura dengan suhu di sepanjang perjalanan sebelumnya. Teduh, angin semilir, sepi ... ada ketenangan yang menjanjikan.

Sebagian besar Nusa Gede memang kering, tapi lahan yang kering ditata dengan indah sejak dulu. Bukan hanya lahan sawah di Pulau Bali yang berteras, bukit kering Nusa Gede juga berteras dan menjadi terlihat sangat indah karena susunan batu-batunya. Saya hanya bisa mengaguminya dan berpikir, "Ketika pembuatan teras dulu, darimana mulai membuat, apakah dari atas ke bawah atau bawah ke atas?" Bunga-bunga gamal merah muda bermekaran, dari jauh seperti bunga sakura (atau bunga sakura yang seperti bunga gamal?). Ditambah lagi dua ekor elang melesat mulus di bawah awan dan birunya langit.

Sembahyang lagi di Pura Goa Giri Putri. Ada banyak kelelawar di salah satu sudut goa sepanjang sekitar 300 meter tersebut. Dan patung Dewi Kwan Im di ujung goa yang terbuka. Sangat cantik, di tengah warna merah berdampingan dengan warna kuning, di sudut goa yang tidak terlalu gelap karena sinar matahari. Beberapa lembar potongan kertas bersyair tersimpan rapi pada sebuah rak. "Seperti ular mau harap lantas menjelma jadi naga, tapi dasarnya dia punya nasib masih tercega, seperti orang yang sakit baik bikin sabar biar lega, sebab meski mau dibikin bagaimana percuma juga"

Jalan utama di bagian timur pulau kami lewati, kecuali Desa Sekartaji. Hari ini ditutup dengan maturan di Pura Dalem Ped. Pulau ini memang menakjubkan, hingga tengah malam. Entah jam berapa, tiba-tiba suara puluhan anjing terdengar saling bersahutan. Diawali satu lolongan anjing, kemudian disusul gonggongan puluhan anjing lainnya, dan setelah sekian menit tiba-tiba berhenti secara bersamaan. Seperti koor paduan suara. Tidak hanya sekali, namun dua kali dalam selang waktu sekitar 15 menit.

Keesokan harinya ... jalan lagi, kali ini ke bagian barat. Namun sebelumnya mampir 'bird sanctuary park' yang dikelola NGO internasional dan lokal. Waktu kami datang adalah waktu sarapan burung: jalak bali, merak, enggang. Ada banyak bibit pohon juga karena mereka mempunyai program penghijauan dengan masyarakat. Sampalan untuk cek harga tiket di pelabuhan (yang sesungguhnya dan sangat bersih) dan keliling pasar kecamatan.

Kunjungan selanjutnya ke kawasan Pura Batu Madeg. Ada hutan di tengah pulau yang terkesan kering! Banyak tanaman bambu dan pohon besar lainnya. Menurut Pak Ardika, hutan tersebut dijaga oleh seekor monyet putih yang besar. Sampai saat ini hutan tersebut masih dianggap 'tenget' dan keberadaannya tidak pernah diganggu. Suara-suara burung dan binatang lainnya menemani kami yang berdiri di jalan kecil yang membelah hutan.

Kemudian keajaiban lain datang lagi ... manta! Dari tebing bukit di Desa Peguyangan, 10 manta terlihat dari atas. Cara mereka berenang seperti menari. Sayang baterai kamera sudah habis, jadi hanya bisa mengamati dengan mata telanjang dan sesekali bergantian binokuler. Sesuatu yang indah mungkin memang harus diingat dan dirasa, bukan diabadikan dalam sebuah gambar. Hehe ... alasan dari keteledoran cek baterai kamera.

Keindahan lain juga ada di Banjar Penida, Desa Sakti. Teluk berpasir putih yang sering disebut 'chrystal bay'. Ceningan, pulau kecil tempat kami biasa berkunjung hanya berjarak beberapa ratus meter. Sayangnya, bukit di sebelah kiri kanan teluk sudah habis terjual. Pantai juga sudah sering dijadikan tempat berjemur para turis yang dibawa Bali Hai Cruise dan 'cruise-cruise' lainnya. Sementara kata seorang bapak di banjar tersebut, mereka tidak tahu apa-apa tentang tamu yang datang dan tidak pernah mendapat apa-apa, kecuali melihat orang-orang kulit putih berjalan di sepanjang pantai atau duduk-duduk sambil menikmati makanan dan minuman.

Lanjut ke Ceningan, menginap semalam. Karakter mereka yang tinggal di Ceningan memang sangat berbeda dengan Tenganan, Sibetan, dan Pelaga. Ecolodge yang direncanakan sudah mulai dibangun. Akhir perjalanan yang sedikit mengecewakan. Kalimat yang pernah saya dengar ternyata jauh dari salah, "Orang jaman dulu selalu ingin mencipta, tetapi jaman sekarang bisanya hanya merusak" Beberapa teras yang cantik, memang secara matematika hitungannya tidak seberapa, tetapi walaupun hanya beberapa meter - kategorinya tetap merusak. Dan menjadi tidak sesuai dengan alam di sekitarnya.

Pelajaran yang didapat: harus ada perencanaan yang matang sebelum melakukan apalagi membangun sesuatu, dan perlu meminta pertimbangan dari pihak lain yang lebih berpengalaman.

2008-08-28

Keliling Bali bersama Ibu Carol

22 - 27 September 2008
Hanya berdua, Atiek dan Ibu Carol - peneliti dan antropolog dari Murdoch University, Perth

Senin, tanggal 22
Berangkat bersama dari hotel di Sanur jam setengah sepuluh pagi
Meluncur ke Tenganan lewat Ida Bagus Oka
Tiba di Ashram Gandhi Candidasa untuk bertemu Pak Sadra
Selalu ... menjadi satu obrolan yang menyenangkan
dan 'mengenaskan' ketika bercerita tentang kondisi saat ini
Bayangkan ...
Saat ini peraturan bupati Karangasem bisa mencabut peraturan daerah Karangasem tentang Tata Ruang!
Ada banyak hal yang bisa di'tumpahkan' tentang pemerintahan di Indonesia
Hingga pada pilihan:
Apakah tetap menjadi penonton di luar ring tinju yang hanya bisa berkomentar
atau justru ikut menjadi pemain?
Sampai lewat makan siang, kami harus pamit karena makan siang sudah disiapkan di Tenganan
Kembali menemukan obrolan menarik bersama Pak Mangku - gudang informasi Tenganan
Tapi kami diharuskan lagi untuk pamit supaya tidak terlalu malam tiba di Sibetan
Dingin ... hanya ngobrol sebentar setelah makan malam sebelum tidur

Selasa, tanggal 23
Hujan ... dan semakin dingin
Katanya karena ada 'karya' di desa Sibetan, hujan di musim yang tidak seharusnya hujan
Apa bukan karena perubahan iklim?
Ada beberapa informasi yang perlu dikumpulkan, di antaranya tentang wine
Menurut Pak Sujana dan Pak Dana musim panen ini mereka akan membuat 1000 liter wine salak
Sehingga dibutuhkan 5 ton salak dari petani untuk membuatnya
Produk yang dihasilkan banjar Dukuh memang khusus wine salak
Olahan lainnya seperti manisan dan keripik salak dibuat di banjar lain
Menuju Pelaga ...
Lewat Rendang-Kintamani-Catur
Wow ... penggalian besar-besaran di sepanjang jalan menuju Rendang
Pipa galvanis berdiameter sekitar 40 cm - katanya untuk mengalirkan air ke Kubu
Namun ternyata ada cerita lain di balik rencana tersebut
Akhirnya kami tiba di jembatan besar dan panjang itu
dan sebelumnya (lagi-lagi) harus melewati pekerjaan perbaikan jalan di Belok/Sidan
juga melewati bangunan penuh kenangan:
bale penginapan dan restoran yang mendapat bantuan dari pemda sebesar 1,5 M tahun 2000 yang lalu
yang saat ini sudah dihiasi padang ilalang dan semak belukar ...
Tiba di Pelaga!
Sudah sore, dan kami belum makan siang
Tidak masalah ... karena makanan yang disajikan sangat istimewa ditambah 'tamarello compote'
Hmmm ...

Rabu, tanggal 24
Entah sudah kali keberapa berjalan dalam kebun di Pelaga
Namun entah sudah kali keberapa pula, selalu ada informasi baru yang belum pernah didengar
Ternyata saat ini ada beberapa orang yang sedang mengembangkan daun mimba
Harumnya segar sekali ... itu sebabnya daun-daun tersebut dikirim ke pengepul untuk diekstrak
Jadi, coba juga beli 10 bibit untuk ditanam di Wisnu
Lanjut ke Pancasari di Tabanan, lewat Petang dan tembus di Baturiti
Rencananya ingin bertemu bendesa Pancasari, namun sedang tidak di rumah
Ngobrol agak lama dengan IbuBendesa ... banyak juga informasi yang didapat
Sebelumnya ke taman wisata alam, jalan cukup jauh sampai ke sebuah pura
Ada banyak cerita dan 'misteri' di wilayah tengah pulau Bali ini
Suatu saat ... pasti datang lagi
Pulang dulu ke Wisnu, sebelum besok lanjut ke Perancak
Makan malam bersama Gin dan Max
Tahun 2004-2006 Gin pernah bergabung di JED sebagai voluntir dari AVI

Kamis-Jumat, tanggal 25-26
Berangkat agak siang karena harus menyelesaikan rencana penelitian sisa tahun ini dan tahun depan
Ke Perancak, Negara ... sebelumnya mampir Kelating, Tabanan yang katanya akan dibangun banyak villa
Tidak terlalu sulit menemukannya, tapi memang jalannya 'berliku'
Dan benar ... pembangunan itu sedang dikerjakan ... tepat di atas pantai pasang surut!
Saya tidak cerita banyak tentang ini karena ada banyak berita di media cetak dan kami tidak mendapat banyak informasi dari beberapa orang yang kami temui
Sebelumnya juga mampir Bali Nirwana Resort
Pura Tanah Lot terlihat jelas dari dalam hotel, terlebih dari lapangan golf itu
Tidak menepati janji? Katanya dulu akan membuat penghalang supaya areal pura tidak tampak
Nyatanya ...
Perancak ... selalu panas dan berangin
Ngobrol sebentar dengan keluarga Pak Tirta sebagai ketua Kurma Asih
Harus tidur lebih sore karena malamnya akan ikut patroli, berharap bertemu penyu sedang bertelur
Jam 11 malam kami mulai patroli ke pantai
Musim angin, tengah malam di pinggir pantai
Rasanya seperti akan diterbangkan angin
Sampai sekitar jam 2 dini hari, belum ada tanda-tanda penyu naik untuk bertelur
Akhirnya kami memutuskan untuk pulang
Tapi di tengah jalan ... Bli Komang tiba-tiba menyuruh kami berhenti
Seonggok bayangan hitam terlihat bergerak-gerak di bagian belakangnya
Seekor penyu! Dan dia sudah selesai bertelur, sedang membuat sarang 'palsu' untuk melindungi yang asli
Wow! Walaupun tidak melihat telur keluar langsung, ajaib juga melihat penyu besar di pantai
Dan besok paginya ... tukik-tukik keluar dari pasir, baru saja menetas dari cangkang telurnya
Perjalanan yang menyenangkan!!!
Aktivitas lain seperti biasanya: melihat kapal 'madura' penangkap ikan, mengagumi karya seni kepiting di atas pasir, dan makan ikan bakar

Sabtu, tanggal 27
Pulang ... lewat Peliatan, Ubud mengantar Ibu Carol
Sambil membicarakan secara serius ide tentang "peneliti muda desa"
Ada rencana 'menciptakan' para peneliti muda di desa yang akan meneliti desa mereka sendiri
Kegiatan ini juga akan mendukung pengelolaan sumberdaya komunitas karena nantinya mereka yang akan mengelola desanya dengan lebih dulu memahaminya
Terima kasih ... walaupun belum ada kesepakatan tertulis, Ibu Carol atas nama kelompok peneliti Indonesia di Australia dan Belanda tertarik dengan rencana tersebut
Dan rencananya penelitian akan dilakukan selama empat tahun
Kami harap tahun depan harapan ini sudah bisa dimulai untuk diwujudkan
Terima kasih untuk semua, yang tampak maupun yang tidak tampak