"Hasil penelitian memang sesuai dengan realitas yang ada di desa. Persoalan tersebut sudah ada sejak awal melakukan ekowisata karena menggunakan rumah penduduk seperti apa adanya. Hal penting yang harus dilakukaan sekarang adalah menetapkan standar yang bisa dikelola bersama." Demikian Pak Sita mengemukakan pendapatnya di depan sekitar 35 orang yang berkumpul di ruang pertemuan Wisnu. Hari itu Rabu, 7 Juli 2010, lewat dari jam 10 pagi.
Kegiatan ekowisata di empat desa melalui JED memang sudah berjalan selama 8 tahun, dan setiap tamu yang berkunjung selalu dimintakan kesediaannya mengisi lembar evaluasi. Berdasarkan catatan data evaluasi selama tahun 2008 diketahui bahwa catatan terbanyak dari para tamu adalah untuk akomodasi, terutama toilet. Perbaikan dan pengaturan atas fasilitas yang sudah ada perlu dilakukan untuk setidaknya bisa memenuhi kenyamanan standar minimal dari tamu yang berkunjung dan menginap di desa.
Catatan terbanyak lainnya adalah untuk kebersihan dan pengelolaan sampah. Sudah disadari bahwa pengelolaan sampah plastik dan anorganik lainnya perlu dilakukan dan sudah mulai diupayakan, namun tidak demikian dengan sampah organik. Catatan yang ada tidak bisa diterima begitu saja, melainkan perlu dianalisis berdasarkan latar belakang budaya. Misal dengan pernyataan jalur treking tidak bersih. Jika yang membuat tidak bersih adalah sampah plastik, memang harus dibersihkan. Namun, jika yang dimaksud adalah daun-daun kering yang berserakan di sepanjang jalur treking, hmmmm ... mungkin di situlah justru akan terjadi dialog informatif antara pemandu lokal dan tamu JED.
Satu hal yang pasti adalah standar manajemen ekowisata atau wisata ekologis desa memang perlu ditetapkan. Standar yang tidak hanya mengacu pada kode etik pariwisata dunia atau nasional, melainkan juga pada nilai budaya Bali. Hal ini bukan hanya ditujukan untuk 'kenyamanan' tamu, terlebih lagi sebagai alat membangun sistem pertahanan diri. Setiap masyarakat desa diwajibkan belajar tentang roh budaya Bali. Di samping ditujukan untuk berinteraksi dengan tamu dan bisa memberikan informasi sebenarnya, kegiatan ini akan menuntun setiap orang melakukan segala sesuatu dengan penuh pemahaman dan kesadaran.
Pada akhirnya, desa wisata ekologis bukanlah merupakan tujuan, melainkan sebagai model keutuhan ruang material dan spiritual Bali. Tujuan yang sesungguhnya adalah Bali Shanti, Bali yang damai. Bagaimana kemudian Bali mawa cara digunakan sebagai alat dan cara mempertahankan diri dari berbagai jenis 'banjir' yang mulai melanda Bali: banjir barang luar, banjir teknologi dan informasi, banjir investor ... jangan sampai "jagung diancak-ancak gelahe, siap len ane ngamah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar