Saat ini, sekitar 40% lahan pertanian di Bali mengalami kekeringan. Hal itu terjadi akibat panas yang berkepanjangan, diperkirakan akibat perubahan iklim. Bukan hanya itu, tinggi muka air bendungan juga sudah mengalami penurunan, contohnya di bendungan Palasari. Akibat lanjutannya adalah, lahan kritis semakin luas dan petani mengalami gagal panen yang berdampak pada penurunan pendapatan ekonomi.
Kondisi tersebut disampaikan oleh para peserta diskusi terfokus tentang "Adaptasi Perubahan Iklim", pada 22 September 2011 di Yayasan Wisnu. Diskusi diselenggarakan oleh The Samdhana Institute dan Stockholm Environment Institute. Peserta terdiri dari beberapa komponen, yaitu pemerintah daerah, akademisi, masyarakat adat, dan LSM.
Terkait dengan perubahan iklim, ada beberapa, bahkan banyak hal yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak, terutama pemerintah daerah seperti Dinas Kehutanan dan BLH. Namun kemudian dikritisi bahwa kebijakan yang dikeluarkan belum diimplementasi secara sesuai dan belum menjawab permasalahan dan kekhawatiran yang ada. Negara banyak membuat aturan, namun juga melanggar aturan yang dibuat. Ditambah lagi, tidak ada pihak yang mengatur pelaksanaan peraturan tersebut sehingga kehidupan saat ini menjadi tidak teratur. Contohnya, berdasarkan hasil kajian, Bali sudah kelebihan 9800 kamar hotel. Namun hal tersebut hanya sebatas kajian, sehingga perebutan atas sumberdaya lahan, air, dan energi tetap terjadi bahkan semakin parah. Sampah juga semakin menumpuk tanpa pengelolaan yang baik.
Fakta yang mendukung kondisi di atas semakin parah adalah, luasan bumi tetap namun jumlah penduduk semakin bertambah, saat ini mendekati angka 6 milyar. Khusus Bali, ada 4 juta orang yang tinggal di atasnya, padahal kapasitas daya tampung dan daya dukung optimal hanya untuk 1,5 juta orang. Kehidupan setiap individu kemudian bersifat ambigu, hanya berteori tanpa dipraktekkan. Contohnya, Wisnu selalu berbicara untuk mengurangi sampah plastik, tapi salah satu kudapan yang disajikan memakai plastik. Hehe ... Padahal hidup yang benar berdasarkan ajaran Bali haruslah ngeret indria, bukan ngulurin indria seperti banyak dilakukan saat ini.
Salah satu hal penting yang bisa dilakukan dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim adalah laku hidup santun bersama. Caranya, dengan melakukan pembatasan diri, kemudian membiasakan diri mempraktekkan laku santun. Pembiasaan diri yang sangat mudah untuk dilakukan misalnya menanam pohon atau melepas burung pada setiap hari lahir, atau membawa tas belanja sendiri ketika berbelanja. Pembatasan dan pembiasaan diri pada akhirnya perlu dilembagakan dalam aturan adat.
Pembicaraan di tingkat provinsi seperti diceritakan di atas kemudian dilanjutkan ke tingkat desa. Desa yang dipilih adalah Kiadan Pelaga di Petang, Badung. Pilihan didasarkan pada kebutuhan untuk melihat dampak perubahan iklim yang sudah dirasakan oleh anggota subak abian. Sebagai informasi, Kiadan Pelaga merupakan desa penghasil kopi yang petaninya tergabung dalam Subak Abian Sari Boga. Diskusi ini dilakukan pada 24 September 2011.
Sedikit berbeda dengan pembicaraan tingkat provinsi yang bersifat umum, peserta diskusi terfokus kelompok subak lebih menceritakan secara detil hal-hal yang sudah dirasakan. Sudah dua kali para petani kopi gagal panen karena curah hujan yang tinggi dan berkepanjangan sehingga menggugurkan bunga kopi. Dan, jika kemarau, panas matahari sangat terik sehingga melayukan bunga kopi. Para petani pada akhirnya harus mencari kerja sampingan sebagai buruh bangunan, sampai ke luar desa. Bagi yang tidak bisa, harus mengurangi pengeluaran untuk konsumsi harian.
Dirasakan juga, ada banyak tanda alam yang mulai hilang. Misalnya, para orang tua selalu melihat kabut atau awan yang menyelimuti gunung untuk mengetahui apakah hujan akan turun di Kiadan. Namun, sejak dua tahun terakhir, kabut atau awan di sekitar gunung tidak lagi bisa dijadikan patokan. Hujan datang tiba-tiba tanpa tanda-tanda, atau jika ada awan yang menyelimuti gunung, belum tentu juga hujan akan turun.
Walaupun demikian, para petani tetap melakukan upaya untuk tetap bisa bertahan di tengah ketidakjelasan cuaca, baik secara niskala maupun sekala. Ritual upacara memohon keselamatan tanaman tetap dilakukan, mulai dari nyaap (sebelum menanam), peneduhan (setelah tanaman tumbuh), nglamping aturin (setelah panen), ngusaba, dan nangsil yang dilakukan dua tahun sekali. Sementara, secara sekala di antaranya melalui reboisasi hutan, penanaman berbagai jenis tanaman bambu, dan mengembangkan jasa lingkungan melalui ekowisata.
Indonesia adalah negara yang dianugerahi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Satu di antaranya adalah UMBI, seperti ubi, talas, gadung, dan ketela ungu. Masyarakat Dani di Wamena, megenal ratusan jenis umbi - mereka menyebutnya hipere. Sementara di Yogyakarta, sedikitnya ada 65 jenis umbi yang dikenal. Bali sendiri, mempunyai sedikitnya 75 jenis umbi yang bisa diolah!
Sayangnya, saat ini puluhan bahkan ratusan jenis umbi tersebut berhasil 'dikalahkan' oleh satu jenis pangan yang sangat terkenal dan kita dibuat tergantung padanya: BERAS. Melalui sistem dan kebijakan yang telah dibangun puluhan tahun sejak zaman 'penjajahan Belanda', masyarakat yang memiliki puluhan bahkan ratusan umbi dikatakan miskin jika tidak mengkonsumsi beras. Padahal, tidak mungkin tanah kering di Papua atau di Bali bisa ditanami padi. Akibatnya, ketergantungan pada pihak luar menjadi sangat tinggi karena tidak mau dikatakan miskin.
Kita bisa belajar dari masyarakat adat Cireundeu, Leuwigajah, Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat. Sejak hampir seabad lalu, tahun 1924, mereka selalu mengkonsumsi rasi - nasi singkong. Beras yang dinilai sebagai simbol penjajahan, dilawan dengan kearifan "tak punya sawah asal punya padi, tak punya padi asal punya beras, tak punya beras asal bisa menanak, tak menanak nasi asal makan, tak makan asal kuat". Artinya, makan tidak harus nasi ... bisa makan apa pun asalkan kuat. Kearifan ini digunakan untuk melawan Belanda yang ketika itu menguasai distribusi beras, sementara lahan di desa tersebut tidak cocok ditanami padi.
Rasi adalah bentuk perlawanan terhadap penjajahan, juga bentuk terhadap kemandirian pangan. Mengkonsumsi pangan yang tumbuh dari lahan sendiri artinya tidak tergantung pada suplai bahan pangan dari pihak luar. Dengan tidak tergantung pada satu jenis pangan, apalagi yang berasal dari luar, kita semakin mampu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini mulai dirasakan.
Maka, Minggu 25 September 2011 dipilih sebagai hari untuk mengadakan pelatihan pengolahan umbi. Kegiatan dimulai pada jam sembilan padi, difasilitasi oleh Ibu Sri Mulyani dari Fakultas Teknologi Pertanian Unud. Ibu Sri ditemani rekannya dari fakultas yang sama, Ibu Puspawati dan Ibu Sri Wiadnyani. Kegiatan diikuti oleh ibu-ibu dan pemudi dari Kiadan Pelaga, Dukuh Sibetan, Tenganan Pegringsing, Selat Buleleng, dan Pengubengan Kerobokan. Ditambah mereka yang tertarik dengan diversifikasi olahan umbi.
Ada banyak olahan umbi yang bisa dibuat, namun ketika itu hanya dibuat beberapa olahan, yaitu kue mangkok ubi ungu, chips talas, cookies singkong, brownies ubi ungu, dan selai ubi ungu. Hampir semua berbahan dasar tepung umbi, jadi dilatih juga cara membuat tepung umbi. Untuk singkong dan ubi ungu melalui proses yang sama, yaitu umbi bisa langsung dikeringkan dengan oven atau matahari setelah dicuci dan dipotong kecil tipis, sebelum dijadikan tepung. Namun untuk talas, talas yang telah dicuci dan dipotong-potong harus direndam dulu dalam larutan garam 7,5% selama 12 jam sebelum dijemur. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan getah yang bisa menimbulkan rasa gatal di lidah.
Nyam ... menjelang makan siang, semua olahan sudah bisa dicicipi. Semua habis tak bersisa. Satu hal yang menjadi PR: adakah kelompok yang mau serius membuat olahan umbi, sehingga bisa menarik minat banyak orang untuk mulai mengkonsumsi umbi?