Sumberdaya genetik atau plasma nutfah adalah bahan
tanaman, hewan, jasad renik, yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan sifat
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pada tanaman, sumber daya genetik
terdapat dalam biji, jaringan, bagian lain tanaman, serta tanaman muda dan
dewasa. Pada hewan atau ternak sumber daya genetik terdapat dalam jaringan,
bagian-bagian hewan lainnya, semen, telur, embrio, hewan hidup, baik yang muda
maupun yang dewasa. Banyak spesies tanaman di Indonesia memiliki keanekaragaman
sumberdaya genetik tinggi dan persebarannya meliputi berbagai daerah. Setiap
daerah di Indonesia memiliki beberapa sumber daya genetik yang khas, yang
sering berbeda dengan yang ada di daerah lain. Contohnya adalah beberapa
varitas padi yang khas.
Aturan perlindungan atas sumberdaya genetik
kemudian dituangkan dalam Protokol Nagoya. Protokol ini mengatur akses kepada sumberdaya
genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatannya
atas konvensi keanekaragaman hayati. Protokol Nagoya diharapkan menjadi suatu
pengaturan internasional yang komprehensif dan efektif dalam memberikan
perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia dan menjamin pembagian keuntungan
bagi Indonesia sebagai negara kaya sumberdaya genetik. Keanekaragaman hayati
merupakan tumpuan hidup manusia, karena setiap orang membutuhkannya untuk
menopang kehidupan, sebagai sumber pangan, pakan, bahan baku industri, farmasi
dan obat-obatan.
Bali sendiri sudah melakukan perlindungan atas
sumberdaya genetiknya sejak ratusan tahun silam, melalui ritus adat, pemanfaatannya
sebagai obat dan kosmetik, juga melalui aturan desa. Berbagai jenis tanaman dan
hewan dalam banten digunakan sebagai
inti kelengkapan pelaksanaan upacara adat dan agama di Bali. Artinya, segala
jenis keanekaragaman hayati tersebut harus tetap dijaga keberadaannya agar
upacara yang dilakukan mencapai kesempurnaan. Penghormatan dan ungkapan rasa
terima kasih atas kelimpahan sumberdaya genetik juga dilakukan melalui beberapa
praktek tradisi yang juga bertujuan untuk merawat dan memanfaatkan sumberdaya
tersebut.
Usada
Taru Pramana yang juga
ditulis dalam lontar merupakan salah satu pengetahuan “tua” Bali tentang
pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan untuk obat, termasuk kosmetik. Lontar usada tidak hanya berisikan
mantra-mantra dan ritual pengobatan, melainkan juga mengupas seluk-beluk
berbagai jenis penyakit lengkap dengan aneka ramuan obat yang memanfaatkan
tanaman-tanaman (herbal) yang tumbuh di daratan Bali. Ramuan obat tradisional
Bali itu diyakini jauh lebih aman untuk dikonsumsi dan tanpa efek samping
dibandingkan obat-obatan kimia. Mengingat mayoritas ramuan obat itu berbahan
baku tanaman, maka langkah itu wajib disertai dengan upaya pelestarian
tanaman-tanaman berkhasiat obat itu sendiri.
Sementara, aturan perlindungan atas sumberdaya
genetik masih bisa dilihat jelas di Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Desa yang
keberadaannya sudah tercatat dalam lontar sejak abad ke-11 ini masih memegang
teguh dan menjalankan aturan desanya, yang di dalamnya mengatur perlindungan
dan pemanfaatan berbagai jenis tanaman. Salah satu pasalnya mengatakan bahwa “Pohon
yang ada di dalam wilayah Tenganan Pegringsingan tidak boleh ditebang sembarangan,
terutama pohon nangka, tehep, kemiri, pangi, cempaka, durian, dan enau. Khusus
untuk enau, pohon boleh ditebang kalau sudah selesai berbuah.”
Keunikan potensi
masing-masing wilayah perlu dipahami dan dimaknai secara utuh dalam kehidupan
keseharian. Kemampuan desa memahami dan memaknai potensinya sangat dibutuhkan
dalam upaya menghadapi “banjir” orang, barang, dan jasa. Dalam hal ini,
dibutuhkan juga kerja sama antar desa, jejaring pengelolaan sumberdaya
komunitas untuk menyikapi pasar bebas. Selain itu, sinkronisasi antara masyarakat,
pemerintah, akademisi, swasta dalam menjaga keunikan masing-masing wilayah
menjadi sangat penting, terutama kaitannya dengan pembagian keuntungan yang adil
dan seimbang yang timbul dari pemanfaatannya atas konvensi keanekaragaman hayati.
Yayasan Wisnu, pada tanggal 28 Februari 2013 menyelenggarakan diskusi terkait hal tersebut. Bekerja sama dengan Yayasan KEHATI, Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup, kegiatan dihadiri oleh beberapa desa pakraman di Bali dan individu yang tertarik dan berkepentingan atas kelestarian sumberdaya genetik. Kegiatan dilaksanakan di ruang terbuka Wisnu, dinaungi pohon ketapang yang sudah tumbuh sejak lebih dari sepuluh tahun. Oksigen yang dikeluarkan dan diberikan sang Ketapang membuat diskusi berjalan dalam atmosfer kekeluargaan dan tetap segar sampai acara berakhir.
Kegiatan dibuka oleh Deputi III Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup. Secara umum dikatakan bahwa pada dasarnya Protokol Nagoya ditujukan untuk melindungi sumberdaya genetik, dengan mengatur "transaksi kekayaan" ketika "diminati" oleh negara lain. Kemudian, secara berturut-turut sebagai narasumber adalah:
- Bapak Ketut Sumarta, Sekjen Majelis Utama Desa Pakraman - Keragaman Hayati Duwe Desa Pakraman
- Putu Wiadnyana, Desa Pakraman Tenganan Pegringsingan - Aturan Desa Adat dalam "Pengamanan" Tanaman Desa
- Bapak I Made Sujana, Banjar Dukuh Desa Sibetan - Wine Salak, Upaya "Intervensi" Kapital atas Duwe Desa
- Ibu Dayu Rusmarini, Puri Damai - Pemanfaatan Sumberdaya Genetik untuk Pengobatan dan Kosmetik
- Ibu PK Diah, Universitas Udayana - Pemanfaatan Sumberdaya Bambu dan Pembagian Keuntungan kepada Masyarakat
Kemudian dilengkapi oleh Dr. Suryadarma, Universitas Negeri Yogyakarta - Hak Masyarakat Adat atas Sumberdaya Hayati. Juga Ibu Miranda Risangayu dari Kementerian Lingkungan Hidup yang mengatakan bahwa saat ini Indonesia sebagai negara tidak sadar dengan kekayaan atas sumberdaya dan tradisi yang dimiliki. Protokol Nagoya hadir untuk membuat pembagian keuntungan yang lebih seimbang, tidak menjadi obyek komodifikasi dan ekonomi.
Diskusi ini merumuskan beberapa kebutuhan, yaitu:
- Identifikasi kebutuhan ritual, terutama yang langka (perlu inventarisasi semua jenis tanaman di Bali sebagai dasar pengumpulan data di setiap desa)
- Memasukkan hasil identifikasi sumberdaya genetik bagi program MUDP
- Membuat aturan tentang penggunaan buah lokal sebagai bahan banten
- Pelatihan PRA untuk pengumpulan data dan pemetaan sumberdaya genetik
- Mencetak Rukmini Tattwa dan Usada Sawah